Are You Okay?


“Sus, Papah kapan pulang? Issa udah kangen sama Papah.” Gadis kecil bernama Charissa itu terus menerus menanyakan keberadaan Andrew yang tak kunjung pulang. Sudah beribu alasan Nadira berikan pada Charissa namun tidak membuatnya berhenti untuk menanyakan Papahnya.

Nadira tersenyum kecil lalu mengusap surai hitam milik Charissa, “Papah hari ini lembur, sayang. Issa bobo duluan aja, ya, Sus Nadira temenin,” ucap Nadira lembut.

Sudah tiga puluh menit yang lalu sejak Andrew mengirimkan pesan pada Nadira bahwa ia pulang larut malam agar kedua anaknya tidak khawatir dan menunggunya pulang.

“Issa ngantuk, Sus, tapi Issa mau nunggu Papah pulang,” ucap Charissa mengerucutkan bibirnya.

“Tadi Papah bilang sama Sus katanya Issa bobo duluan aja nggak apa-apa, Papah nanti pulang, kok,” jelas Nadira lagi. Charissa pun mengangguk pelan.

“Sekarang bobo, ya, tadi udah sikat gigi, kan?”

“Udah, Sus!”

“Pintar!”

Nadira menutupi setengah tubuh Charissa dengan selimut tebal berkarakter Frozen kesukaannya. Mengusap surai hitam milik Charissa lagi lalu mengecup keningnya. Tak lama kemudian mata Charissa pun terpejam sempurna. Nadira beranjak dari kasur Charissa lalu mematikan lampu kamarnya, hanya lampur tidur yang terletak di meja nakas saja yang menyala untuk menerangi ruangan. Nadira tersenyum sebelum menutup pintu kamar Charissa yang sudah tertidur lelap.

Nadira berjalan menuju kamar Zio yang sedari tadi sedang mengerjakan PR nya. Apakah ia sudah selesai? Nadira mengetuk pintu terlebih dahulu sebelum membuka pintu kamar kayu berwarna putih itu dan memunculkan kepalanya dibalik pintu—melihat Zio masih setia duduk di kursi belajarnya.

“Zio, boleh Sus masuk?” tanya Nadira.

Zio menoleh ke arah sumber suara, “Iya.” Ia kembali berkutat dengan kertas dan pensil di sana.

Nadira berjalan perlahan menghampiri Zio yang masih fokus mengerjaakn PR nya lalu mengusap pundak Zio pelan.

“Masih ngerjain PR, ya? Mau Sus bantuin nggak?” tanya Nadira.

“Nggak usah. Aku bisa sendiri,” jawabnya singkat tanpa menoleh ke arah Nadira.

Nadira tersenyum singkat, sikap Zio terhadapnya masih sangat kaku bahkan Zio masih belum mau membuka dirinya. Segala cara Nadira lakukan untuk membuat anak laki-laki berumur 6 tahun ini luluh padanya namun tidak semudah itu, tapi itu tidak akan membuat Nadira menyerah untuk meluluhkan hati Zio.

“Papah belum pulang, Sus?” tanya Zio.

“Belum, sayang. Papah hari ini lembur,” balas Nadira.

Tak ada jawaban lagi dari Zio, mata Nadira teralihkan ke seluruh kamar yang tidak terlalu besar dengan dinding berwarna biru tua, terdapat satu lemari kaca besar berisikan mainan milik Zio yang tertata rapih di sana. Nadira kembali tersenyum saat melihat foto keluarga kecil—Andrew, Zio dan Charissa. Mereka tersenyum manis dalam figura tersebut membuat hati Nadira melebur.

“Selalu lembur, kapan Papah punya waktu buat aku sama Issa?” gumam Zio kecil namun masih dapat didengar oleh Nadira.

Nadira menoleh lalu mendekat ke arah Zio, ia mendudukkan dirinya di sisi sebelah kanan kasur milik Zio sebelum kembali berucap. “Papah pasti punya waktu buat kamu dan Issa. Papah juga kerja, kan, buat Zio sama Issa,” ucap Nadira tersenyum.

“No, Papah kerja cuma untuk cari uang buat aku sama Issa, tapi aku nggak butuh uang, Sus. Aku cuma butuh Papah disini, temenin aku sama Issa,” lagi dan lagi jawaban Zio membuat Nadira terdiam kaku. Entah kenapa hatinya teriris ketika mendengar kata-kata itu terucap dari mulut Zio, seorang anak laki-laki berumur 6 tahun yang seharusnya tidak mengucapkan itu.

Nadira menduga bahwa ada sesuatu antara keluarga ini terutama dengan Zio, si anak pendiam dan selalu tertutup. Namun Nadira cukup tahu diri, ia hanyalah pendatang baru di rumah ini. Sangat tidak mungkin untuknya ikut campur dalam masalah yang ada dalam keluarga ini.

Ia menatap Zio dalam, tidak ada air mata yang keluar menyusuri pipi tembamnya. Ekspresi wajah datar yang selalu sama setiap hari Nadira lihat menjadi pemeran utama dalam diri Zio. Tidak ada senyuman, tidak terlihat kegembiraan di sana.

“Are you okay?” tanya Nadira pelan. Saat itu juga tangan Zio yang sedari tadi mencorat-coret kertas asal berhenti. Napasnya berderu kencang saat Nadira mengucapkan itu, air matanya hampir keluar membasahi pipi namun masih dapat ia tahan. Yang ada hanya anggukan kecil sebagai simbol bahwa dirinya baik-baik saja. Supaya Nadira percaya.

Nadira mengusap surai hitam milik Zio lalu berkata, “Papah sayang banget sama Zio dan Issa, sebisa mungkin pasti Papah selalu menyempatkan waktu untuk main sama kalian.”

“Zio jangan sedih, kan, ada Sus Nadira yang nemenin Zio sama Issa main,” ucapnya lagi.

Tak ada jawaban lagi dari Zio, mata Nadira teralihkan ke seluruh kamar yang tidak terlalu besar dengan dinding berwarna biru tua, terdapat satu lemari kaca besar berisikan mainan milik Zio yang tertata rapih di sana. Nadira kembali tersenyum saat melihat foto keluarga kecil—Andrew, Zio dan Charissa yang berada di meja belajar Zio. Mereka tersenyum manis dalam figura tersebut yang membuat hati Nadira melebur. Tangannya terangkat saat melihat satu figura dengan posisi terbalik, niat hati ingin membenarkan posisi figura tersebut namun lebih dulu ditahan oleh Zio.

“Jangan sentuh barang Zio,” ucap Zio menatap Nadira dingin.

“O-oh nggak, Sus cuma mau benerin posisinya aja. Tapi, kok, fotonya terbalik gitu, ya?” tanya Nadira.

“Sus Nadira nggak perlu tau. Sus Nadira bukan siapa-siapa di rumah ini,” ketus Zio lalu beranjak dari kursinya dan berbaring di kasur, menutup seluruh tubuhnya dengan selimut.

Jleb.

Rasanya Nadira ingin berlari sekencang mungkin. Sudah banyak yang cara yang ia lakukan namun kehadirannya masih tak diterima oleh Zio. Kenapa begitu sulit untuk meluluhkan hati seorang anak kecil? Padahal dirinya sudah belajar sedikit tentang bagaimana menjaga anak dengan baik lewat internet yang selalu ia cari setiap malam sebelum tidur. Ia senang jika beradaptasi dengan anak kecil namun tidak tahu akan sesulit ini.

Tidak. Ia tidak boleh menyerah begitu saja hanya karena kehadirannya belum diakui namun dirinya sudah dibayar besar oleh Andrew. Nadira akan memberikan yang terbaik sebagai pengasuh di rumah ini. Nadira menghembuskan napas pelan lalu beranjak mematikan lampu kamar Zio sebelum ia keluar.

© jenxclury