Babysitter


Mata gadis itu menyalang mencari alamat kafe yang tertera dilayar ponselnya. Kakinya melangkah menyusuri bermacam-macam toko dijalan itu. Langkahnya terhenti saat membaca spanduk besar tepat didepan kafe tersebut. Rosé Coffeshop. Ia menemukannya.

Ia membuka pintu kafe tersebut lalu berjalan kecil mencari seseorang yang saling mengirim pesan beberapa menit lalu. Layar ponselnya tak lagi menampilkan alamat kafe melainkan sebuah foto pria tampan dengan jas hitam yang melekat ditubuhnya.

Gadis itu sedikit terjinjit untuk mencari pria tersebut sampai akhirnya ia menemukannya. Tepat dimeja paling pojok seorang pria tak lepas dari ponselnya, ia memberanikan diri untuk menghampiri pria tersebut.

“Mas Andrew?” sang empunya mengangkat kepalanya.

Mata mereka saling bertemu. Persis seperti difoto bahkan terlihat lebih tampan aslinya.

Pria bernama Andrew itu mengernyitkan keningnya, “Nadira?” ucapnya. Gadis is mengangguk lalu tersenyum.

Itu Nadira. Sesuai janjinya ia akan datang ke kafe ini untuk menemui pria didepannya. Ia memanggilnya dengan sebutan Mas Andrew.

“Silakan duduk, kamu mau pesan apa?” Andrew mempersilakan Nadira duduk.

“Bolehkah?” tanya Nadira untuk meyakinkan.

Andrew mengangguk kecil, “saya yang akan bayar.”

Nadira tersenyum lalu mengambil buku menu tersebut. Butuh beberapa waktu untuk memilih menu dan ia hanya memesan satu Ice Lemontea karena tidak mungkin ia memesan makanan yang mana akan dibayar oleh orang yang ia baru saja ia kenal.

Manusia di muka bumi ini sangat sulit untuk dipercaya.

“Saya bisa mulai pembicaraan kita?” ucap Andrew yang baru saja menyesap kopi americano miliknya.

“Bisa, Mas.”

“Nama kamu Nadira Gabriella, betul?”

“Betul, Mas.”

“Umur berapa? Status kamu apa?” tanya Andrew santai.

“Saya umur 22 tahun, Mas. Kebetulan saya masih single,” jawab Nadira enteng.

Andrew terdiam sebentar. “No, i mean... Kamu kuliah atau pernah kerja dimana,” ucapnya lagi.

Malu. Nadira sangat malu.

“A-ah.. Saya mahasiswa aktif Fakultas Ilmu Pendidikan, Mas,” ucap Nadira.

Andrew mengubah posisinya, “Lalu bagaimana bisa kamu menjaga anak saya jika status kamu masih mahasiswa aktif?” ucapnya.

“Itu yang saya mau omongin juga, Mas, kalau boleh saya mau ambil part time saja.”

Jujur saja, Nadira sedikit takut untuk membicarakan soal ini. Ia tahu ini terkesan tidak sopan tapi ia sangat menginginkan pekerjaan ini, hanya untuk mengisi waktu luang. Walau sebenarnya ia juga disibukkan oleh tugas kuliah.

“Kalau boleh saya tau, mengapa kamu memilih pekerjaan ini? Kamu bisa saja kerja part time di toko atau kafe.”

Pertanyaan Andrew membuat Nadira terdiam sebentar lalu tersenyum kecil sebelum menjawabnya.

“Saya punya beberapa alasan, Mas. Pertama, saya memang suka anak kecil. Kedua, saya senang saat saya bisa menjaga mereka dan bermain bersama tentunya. Ketiga, saya nggak suka kerja part time di toko atau kafe, Mas,” jelas Nadira.

“Alasannya?” pertanyaan Andrew ini untuk alasan Nadira yang ketiga.

“Nggak suka aja, Mas, capek,” Nadira terkekeh.

Aneh, banyak anak muda seumuran Nadira yang lebih memilih bekerja part time di toko atau kafe ketimbang mengurus anak kecil. Itu sangat merepotkan, bukan?

Andrew mengangguk paham.

“Begini, saya seorang single parents, saya tidak bisa memperhatikan kedua anak saya sebab selalu sibuk dengan pekerjaan.”

“Maka dari itu, saya mencari babysitter yang bisa memperhatikan mereka 24 jam,” ucap Andrew.

Nadira menundukkan kepalanya. Ia tidak berkutik, sepertinya ia sudah salah mengambil pekerjaan ini. Karena ia tahu ia tidak mungkin bisa menjaga mereka 24 jam, ia juga harus kuliah.

“Atau dengan pilihan lain, kamu bisa tinggal di rumah saya,” lanjutnya.

Atau mungkin tidak.

Nadira mengangkat kepalanya kembali tertegun akan ucapan Andrew. Telinganya tidak salah mendengar, itu sangat jelas terlontar dari mulut Andrew.

Haruskah? Bagaimana dengan pandangan orang lain nanti jika seorang perempuan kepala 2 tinggal bersama dengan seorang duda? Sangat mencurigakan.

Ah tidak, itu tidak boleh terjadi. Bagaimana jika Andrew tidak sebaik yang ia kira? Tampangnya memang meyakinkan namun ia tidak tahu dengan sifat aslinya.

“Hm.. Apa boleh say-

“Sebentar, sebelum kamu jawab, saya mau memberitahu sedikit tentang anak saya,” Andrew menampilkan sebuah foto dua anak kecil sedang tersenyum lebar.

“Ini anak saya yang cowok, namanya Zio. Umurnya masih 6 tahun, sebentar lagi ia akan masuk sekolah dasar. Ia anaknya penurut walau kadang suka membangkang tapi ia sangat menyayangi adiknya.”

Nadira terlihat sangat antusias saat Andrew menceritakan tentang anaknya. Mereka benar-benar terlihat sangat menggemaskan.

“Yang ini Charissa, umurnya 4 tahun. Ia sudah pintar berbicara dan menyanyi, sayangnya, ia sedikit sensitif. Sebab itulah Charissa lebih sering menangis,” jelas Andrew.

“Bagaimana? Kamu tertarik?” tanya Andrew berusaha meyakinkan Nadira.

“Saya tidak meminta kamu untuk jawab sekarang, saya kasih waktu kamu untuk mempertimbangkan semuanya,” ucap Andrew lagi.

“Maaf, Mas, sebelumnya saya mau bertanya. Apa Mas Andrew percaya sama saya?”

Andrew tertawa kecil mendengar pertanyaan Nadira.

“Bisa aja saya macem-macem kalo nanti saya sudah berkerja dengan Mas Andrew, ya, karena kita baru kenal beberapa menit yang lalu, bisa aj-

“Saya percaya sama kamu.”

Mulut Nadira mengatup sempurna. Lagi-lagi Andrew membuatnya diam tak ada alasan.

“Sejak awal we're talking each other, saya bisa lihat kamu orang yang tulus. Thats all,” jawab Andrew singkat.

“Sudah lebih dari 10 orang yang datang kemari dan saya sudah duduk dibangku ini selama 1 jam lebih namun saya belum bisa menemukan yang pas.”

“Karena mereka terlihat tidak tulus,” kata Andrew.

Nadira sedikit tercengang mendengar ucapan Andrew sekaligus berdecak kagum bahkan ia menyeleksi semuanya sendirian.

“Kamu bisa hubungi saya jika setuju, saya akan memberikan kontrak perjanjiannya,” ucap Andrew.

Nadira mengangguk lalu tersenyum, “Baik, Mas, saya akan pertimbangkan terlebih dahulu.”

Benar, Nadira harus memikirkan ini matang-matang dan juga ia akan menanyakan pendapat sahabatnya.