Bertemu (2)
Jeno dan Sungchan memeluk tubuh mungil Nara dengan sangat erat, Nara merasa sesak sekarang. Ia menepuk-nepuk pundak Jeno untuk melepaskan pelukannya karena dirinya yang memeluknya begitu erat namun sama sekali tidak digubris oleh Jeno.
“K-kak Jeno.”
“Akhh!”
Nara meringis kesakitan saat lengan Jeno menyenggol lukanya, sangat perih rasanya. Seketika Jeno melepaskan pelukannya dan menatap Nara dengan panik.
“Lo kenapa, Ra? Gue kekencangan, ya, meluknya? Ada yang luka?” ucap Jeno memegang lengan Nara membuatnya meringis kesakitan lagi.
Dengan cepat Jeno menggulung sweater yang digunakan Nara dan terkejut saat melihat luka memar di beberapa titik lengannya. Sungchan dan Mark tak kalah terkejutnya ketika melihat itu, kedua tangannya di penuhi dengan luka memar kebiruan. Jeno menatap Nara kembali.
“Ini kenapa, Ra? Lukanya, kok, kayak habis dipukul gitu. Lo kenapa, Ra? Bilang sama gue,” ucap Jeno yang sudah panik.
“E-engga apa-apa, kok, ini cuma kepentok aja,” Nara berbohong.
“Nggak mungkin kepentok doang sampe kayak gitu, Ra.” kali ini Sungchan yang berbicara.
“Ra, just tell us. Whats happened?” Mark meyakinkan Nara untuk bercerita tentang semuanya, tentang lukanya berasal.
Nara duduk perlahan dan diikuti oleh ketiga kakaknya, posisi dirinya ada ditengah-tengah sekarang. Ia menarik napasnya dalam lalu mulai bercerita.
“Kak Jeno, pas lo mabok waktu itu, gue yang tolongin. Gue yang chat Sungchan buat jemput lo, gak lama kemudian lo pingsan dijalan,” Jeno terkejut ketika mendengar penjelasan Nara begitupun dengan Sungchan dan Mark. Ucapan Jeno waktu itu benar adanya, ia tidak mengada-ada bahwa Nara lah yang membantunya.
“Gue gak tau harus gimana waktu itu, jadinya gue tinggal pas Sungchan udah mulai deket lokasi. Satu sisi gue gak bisa tahan sama bau alkohol, badan lo bau alkohol banget soalnya.”
“Gue gak tau kenapa lo sampe mabok berat waktu itu, cuma..kenapa lo jadi kayak gini? Gue bahkan sering banget liat lo minum-minum,” Jeno mendudukkan kepalanya, ia tahu bahwa ini adalah salahnya. Ia baru teringat jika Nara tidak suka dengan orang pemabuk. Jeno tidak bisa berkata apa-apa sekarang, ia hanya diam mendengarkan Nara berbicara.
“Habis tolongin lo, gue pulang ke kostan. Sampe disana, Ayah mukulin gue karena dia nyium baju gue bau alkohol dan ngira kalo gue habis minum-minum. Dan, ya, ini sebabnya kenapa ada luka ditubuh gue,” jelas Nara. Mark merasa bingung ketika mendengar kata 'Ayah' keluar dari mulut Nara.
“Wait, Ayah? Who is he?”
“Aku tinggal sama Ayah sekarang, Kak, Ayah kandung aku. Honestly, aku belum percaya seratus persen tapi, semua bukti yang dikasih Ayah emang bener adanya.”
“Aku udah ketemu sama Ayah kandung aku,” ucap Nara tersenyum tipis.
“Tapi, Ra. Kenapa lo percaya aja kalo dia bilang kalo 'Ayah' lo itu Ayah kandung lo? Kalo emang bener dia Ayah kandung lo, gak mungkin dia mukulin lo sampe kayak gini,” ucap Sungchan yang kembali menyentuh luka memar dilengan Nara.
Nara melihat luka itu lagi lalu tersenyum tipis, melihat betapa mirisnya dia sekarang.
“But, it's my fault. Aku salah, karena mungkin seharusnya anak perempuan gak boleh mabok-mabokan.”
“Tapi lo gak mabok, Ra. Itu semua karena gue, maaf, gue salah. Gue yang udah buat lo kayak gini, maafin gue, Ra,” Jeno mengelus luka pada lengan Nara, ia benar-benar merasa bersalah. Kalau bukan karena dirinya, Nara tidak akan mendapat luka seperti ini.
“No, its okay. Lukanya udah gak sakit, kok, sebentar lagi juga ilang.”
Jeno terus memperhatikan luka Nara tersebut lalu kembali menatap Nara yang tersenyum kearah ketiga kakaknya. Walau Nara bilang dirinya tidak apa-apa, tapi mereka sangat khawatir dengan kondisi Nara. Terlebih luka itu disebabkan oleh Ayahnya sendiri. Tidak ada seorang Ayah yang tega memukul anak perempuannya sendiri.
Mark bertekad untuk tetap menjaga Nara bagaimanapun caranya, ia tidak mau melihat Nara luka seperti ini terus. Ia meminta nomer HP Nara yang baru agar mudah untuk dihubungi sewaktu-waktu.
Nara terpikirkan sesuatu tentang apa yang ia ingin bicarakan pada ke tiga kakaknya.
“Hm.. Papah Jae gimana?” tanya Nara.
Jeno dan Sungchan menoleh kearah Mark, memberikan isyarat untuk Mark yang menjawab pertanyaan Nara.
“Papah baik-baik aja, kok, Ra. Cuma belakangan ini papah lagi sibuk kerja, sering lembur,” jelas Mark.
“Bahkan sampai gak makan, karena lembur,” Sungchan melanjutkan omongan Mark.
“Kenapa? I mean..papah selalu sarapan dan bawa bekal kalo mau lembur. Apa papah gak sarapan?” tanya Nara lagi. Jujur, dirinya mulai khawatir dengan Jaehyun ketika mendengar penjelasan dari Mark dan Sungchan.
“Papah gak pernah mau sarapan, Ra. Kalo ditanya, pasti jawabnya sarapan di kantor. Minum kopinya juga sering banget, papah cuma mau dibawain roti aja.”
“Papah juga jarang pulang, Ra,” Jelas Sungchan.
Wajah khawatir Nara sangat terlihat jelas, mengapa Jaehyun jadi seperti ini? Dulu Jaehyun selalu membawa bekal jika lembur, apapun makanannya Jaehyun akan bawa itu. Minum kopi juga hanya seperlunya, karena Nara yang mengatur jadwal minum kopi Jaehyun. Namun sekarang, kenapa seperti ini?
“Mamah suka masak?”
“Mamah selalu masak, Ra. Cuma papah selalu minta buat dibawain roti aja, gak mau makan makanan berat.”
“Tapi kalo gitu terus nanti papah bisa sakit, sehari papah minum kopi berapa kali?” nada bicara mulai terdengar sangat khawatir akan Jaehyun.
“Mungkin 8.”
Nara benar-benar terkejut mendengar ucapan Sungchan, ingin rasanya ia berlari menghampiri Jaehyun sekarang, mengomeli papahnya tersebut karena sudah melanggar batas minum kopi sehari 2 kali, dan tidak membawa bekal saat lembur bahkan jarang sarapan. Namun Nara tidak bisa, disatu sisi dirinya belum siap untuk melihat Jaehyun lagi.
Mark mengetahui bahwa Nara sangat khawatir dengan Jaehyun, terlihat dari dirinya yang sangat cemas dan tidak tahu harus berbuat apa.
“Ra, tenang ya, nanti aku bilangin sama papah untuk teratur sarapan sama bawa bekal dan juga jangan sering-sering minum kopi,” ucap Mark menggenggam tangan Nara untuk menenangkannya.
“Atau lo mau pulang aja, Ra, biar lo yang bilang langsung sama papah. Papah cuma nurut apa kata lo, Ra,” ucap Jeno.
Nara terdiam.
Pulang.
Tidak, Nara belum siap.
“I think..i can't. Aku belum siap buat ketemu papah lagi.”
Mark tersenyum tipis mendengar pernyataan Nara, terbukti bahwa Nara masih kecewa dengan Jaehyun. Tidak banyak memang, namun rasa sakit di hati Nara belum sepenuhnya sembuh.
“Its okay, maaf kalo kita gak pernah bilang dari awal tentang masalah dulu. Kita salah, Ra, kita yang udah buat kamu kayak sekarang. Maaf,” Mark mengucapkan kembali kata maaf tentang kejadian dulu. Nara kembali teringat kejadian satu tahun lalu yang dimana, hatinya benar-benar hancur.
Nara tersenyum tipis, “aku udah lupain kejadian itu, Kak. Kalian gak salah, aku yang bersyukur punya kakak yang baik kayak kalian.”
Dengan cepat Nara mengambil ponselnya saat melihat notifikasi pesan masuk dari Ayah yang sudah menyuruh nya untuk pulang. Ia menatap ketiga kakaknya yang mengisyaratkan untuk memberitahu siapa yang mengirimkan pesan padanya.
“Kayaknya aku harus pulang, Ayah udah nyariin. Makasih atas waktunya, aku harap kira bisa ketemu lagi. Jangan cari aku lagi ya, chat me if you need to talk with me.”.
“Aku gak bisa sering-sering ketemu kalian, karena aku punya kehidupan yang aku harus jalanin. Satu lagi, jangan kasih tau papah, ya, kalo kalian ketemu aku. Biar ini jadi rahasia kita berempat aja,” ucap Nara membuat ketiga kakaknya merasa sedih dan enggan untuk melepaskan Nara kembali.
“Ra, lo gak mau pulang sama kita? Ayo, Ra, pulang,” mohon Sungchan.
Nara menggeleng cepat, “untuk sekarang belum bisa, Chan, maaf. Nanti kita ketemu dilain waktu ya. Aku permisi,” Nara meninggalkan mereka yang masih diam terpaku di meja makan restoran tersebut. Waktu benar-benar begitu singkat, mereka hanya ingin terus bersama Nara. Dan mereka belum berhasil untuk membawa Nara pulang.
“Chan, ikutin Nara, dia pulang kemana. Jangan sampe ketahuan,” ucap Mark pada Sungchan.
“Oke, bang.”
© jenxclury