Kembali Luka (2)
Nara sudah sampai di rumah tepat pukul 11 malam. Ia tahu sudah sangat larut untuk pulang dan dirinya sebagai seorang perempuan. Ia hanya berharap Ayahnya tidak memarahinya dan mau mengeluarkan penjelasannya terlebih dahulu.
Nara membuka pintu rumah nya dan melihat bahwa lampu sudah mati, ia berpikir bahwa Ayahnya sudah tidur. Ia menutup pintu dengan perlahan lalu berjalan menuju kamarnya namun langkahnya berhenti ketika lampu di ruang tamu dinyalakan oleh Ayahnya.
Nara melihat kearah Ayahnya yang menatapnya sangat tajam. Nara menelan ludahnya sendiri dengan gugup, ia punya alasan yang cukup bisa dimengerti namun dirinya terlalu takut.
“Darimana kamu? Kenapa baru pulang sekarang?” tanya Ayahnya dengan nada dingin.
“A-aku dari tempat kerja,” ucap Nara gemetar.
“Sudah jam berapa ini? Emangnya pulang kerja jam segini?” Ayah mendekat kearah Nara yang menunduk takut.
Ayahnya mencium bau yang sangat menyengat dari tubuh Nara, ya bau alkohol. Tatapan yang diberikan sang Ayah semakin membuat Nara takut. Ayahnya seperti ingin menerkam seseorang.
“Kamu minum alkohol? Kamu pergi ke club dulu sebelum pulang? Iya kan?!” sang Ayah menarik hoodie yang dikenakan Nara hingga Nara sedikit terangkat dan terkejut.
“N-nggak, Yah, aku gak pergi ke club. Tolong lepasin dulu, aku bisa jelasin,” ucap Nara memegang tangan Ayahnya agar melepaskan genggaman pada hoodie nya.
“Bohong kamu! Sudah berani kamu pergi ke club? Diajarin siapa kamu seperti ini?!”
“Oh, Ayah tau, ini ajaran keluarga kamu dulu, kan? Iya kan? Jawab Ayah Nara!” teriak sang Ayah.
Nara memejamkan matanya karena takut, dirinya benar-benar takut sampai jantungnya berdegup sangat kencang.
“Nara bisa jelasin, Yah. Ayah salah paham,” air mata Nara sudah menetes sejak Ayahnya membentak dirinya tadi.
“Kamu harus Ayah beri pelajaran, ikut Ayah!” tubuh Nara ditarik oleh Ayahnya, Nara tidak menahan karena tenaga Ayahnya sangat besar. Ia mencoba bertahan pada sisi tembok namun tidak bisa.
Sang Ayah menghempaskan tubuh Nara ke lantai dengan kasar, punggung Nara membentur ujung meja, rasa sakit mulai menjalar keseluruh tubuh Nara.
“Kamu anak berandalan! Tidak tahu diri!”
Ayah mengambil sapu lantai yang terletak disana, lalu memukul tubuh Nara dengan sapu tersebut.
Bugh
“Arghh!”
Tangan, kaki, punggung hingga perut semua terjamah oleh gagang sapu tersebut. Nara terus meringis kesakitan sembari menangis, rasanya sangat sakit. Ia mencoba untuk menghentikan Ayahnya namun tidak didengarkan. Sang Ayah sudah tersulut emosi.
“Ayah stop! Sakit!”
Bugh
Bugh
“Sakit Ayah!”
Pukulan demi pukulan Nara terima, tubuhnya terasa lemas saat terus-menerus menangis dan memohon agar Ayahnya memberhentikan aksinya tersebut. Tubuhnya sangat sakit, ia semakin susah bergerak sekarang.
Nara hanya bisa menangis dan pasrah, sampai akhirnya sang Ayah tidak memukulinya lagi. Isak tangis Nara terus terdengar saat sapu tersebut dilempar kearah Nara.
Tubuh Nara meringkuk dilantai dingin tersebut, tubuhnya sangat sakit untuk digerakkan. Sang Ayah meninggalkan Nara yang meringis kesakitan, tidak peduli dengan tangisan Nara. Ia merasa kesal karena anak perempuan sudah sangat liar.
Nara terus menangis mencoba menahan rasa sakit, ia memeluk dirinya sendiri untuk menenangkan dirinya.
“Papah.. Sakit.”
© jenxclury