Like a Butterfly
Cekl
Pintu apartemen terbuka menampakkan gadis berambut cokelat dengan balutan sweater dan celana panjang membawa kantong plastik berwarna putih berisikan cemilan yang ia beli tadi. Gadis itu berjalan menuju ruang tamu sembari bersenandung lalu duduk di sofa L yang tertata rapih disana.
“Waktunya kepotong 15 menit, kemana aja?” gadis itu menoleh kearah sumber suara.
“Kan tadi gue udah bilang mau jajan,” balas gadis itu.
“Jajan selama itu? Manage your time, Bixa.”
Ya, gadis itu adalah Bixa, ia berada di apartemen Kale sekarang. Sesuai janjinya, ah tidak, ini perjanjian yang dibuat Kale untuk belajar bersama. Sejujurnya ia sangat tidak suka belajar apalagi mulai mendekati ulangan karena percuma saja semua yang sudah ia pelajari hilang begitu saja ketika melihat soal ujian. Ujung-ujungnya menghitung kancing adalah jalan ninjanya.
Bixa menghela napasnya sebelum kembali berbicara.
“Ya emang gak ngantri? Banyak orang tadi,” ucap Bixa sembari membuka bungkusan ciki berukuran besar tersebut.
Belum sempat ia memakan cemilannya Kale sudah lebih dulu merampasnya dari tangan Bixa. Tentu saja Bixa marah.
“Kale balikin gak?! Gue mau makan,” Bixa berusaha mengambil ciki itu kembali dari tangan Kale namun tidak bisa. Kale justru mengangkat bungkusan ciki itu setinggi-tingginya membuat Bixa sulit menggapainya karena ukuran tubuhnya yang lebih kecil dari Kale.
“Gak ada makan, belajar dulu,” tegas Kale. Bixa mengerucutkan bibirnya kesal.
Kale menaruh bungkusan ciki tersebut ke dalam kantong plastik putih lalu membuka buku catatannya.
“Mana buku catetan lo? Yang kemarin udah dicatet, kan?” tanya Kale.
Bixa hanya diam, ia mengeluarkan buku catatan matematika minat dari tas dan sedikit membantingnya dengan kesal sehingga menciptakan suara nyaring.
“Bixa, lo udah janji mau belajar matematika minat hari ini. Makannya nanti dulu, ya,” Kale melembutkan suaranya.
“Gue gak janji mau belajar matmin, lo yang maksa,” ketus Bixa.
“Tapi ini buat nilai lo juga, Bixa. Ujian udah tinggal berapa hari lagi, lho,” ucapnya lagi.
“Gue bisa cap cip cup kalo nggak itung kancing,” celetuk Bixa.
Kale menghembuskan napas kasarnya, emosinya mulai terpancing dengan ucapan Bixa namun ia harus bisa menahannya. Jika ia marah sekarang, Bixa tidak akan mau belajar lagi.
“Belajar dulu, ya, makannya nanti,” ucap Kale membuka buku catatan Bixa.
Kale terdiam sebentar saat melihat setiap lembar kosong tanpa coretan sedikit pun.
“Lo belum catet yang kemarin?” tanya Kale pada Bixa.
“Belum.”
“Kenapa?”
“Karena gue gak mau catet, males,” ucapnya santai.
“Catet dulu sekarang,” Kale memberikan pulpen hitam pada Bixa. Ia sudah tahu akal bulus Bixa, ia sengaja tidak membawa pulpen agar tidak bisa belajar. Untungnya Kale mengajak belajar bersama di apartemennya jadi Bixa tidak bisa mengelak lagi sekarang.
“Nanti aja gak, sih? Gue masih belum ada m—”
“Bixa Orellana,” Kale menatap mata Bixa tajam. Suasana menjadi canggung seketika karena aura yang diberikan Kale sangat menyeramkan dan terkesan dingin.
Bixa tidak bisa berkata lagi ia segera mencatat semua catatan matematika minat yang Kale berikan dalam bentuk PDF kemarin.
Menit permenit berlalu Kale terus mengajarkan penyelesaian suatu soal pada Bixa. Ada kalanya ia tidak mengerti sampai Kale harus mengulang penjelasannya dari awal itu benar-benar sangat melelahkan, emosinya juga sudah kembali naik. Ia juga memberi beberapa latihan soal pada Bixa dan mengoreksinya masih ada beberapa yang salah namun Bixa mengerjakan itu dengan baik. Setidaknya ia paham cara penyelesaian yang ia berikan.
Omong-omong soal belajar bersama, ini sudah kesekian kalinya Bixa berada di apartemen Kale untuk belajar bersama. Bixa tidak akan pergi jika Kale memaksanya untuk belajar bersama seperti yang dijelaskan tadi, Bixa tidak suka belajar. Tentu saja Kale sudah mengetahui itu sejak sekolah menengah pertama Bixa tidak pernah belajar selain mengerjakan tugas sekolah, itu juga perlu bantuan Kale sedikit.
Tapi tak apa Kale senang jika harus terus-menerus mengajarkan Bixa seperti ini. Tidak mungkin temannya ia biarkan begitu saja tanpa ilmu selagi ia paham dan tahu bagaimana konsepnya ia akan mengajari Bixa tanpa terkecuali. Dan juga bisa berlama-lama berduaan dengan Bixa salah satunya.
Tidak bisa dipungkiri bahwa Kale memang menyukai Bixa sejak sekolah menengah pertama alasannya karena Bixa terlalu lucu. Apapun yang Bixa lakukan selalu lucu dimata Kale kadang ia ingin sekali mencubit pipi gembul Bixa dengan gemas tapi selalu ia urungkan. Ia tidak bisa melakukan itu karena sifat Bixa yang membuatnya kesal.
Bixa merenggangkan tangannya karena terlalu lelah menulis sedikit lagi contoh soal yang diberikan Kale selesai ia bahkan tidak meminta bantuan Kale sedikit pun untuk mengerjakan itu karena ia sudah paham dengan cara penyelesaian yang diajarkan Kale.
Kale sesekali melihat pekerjaan Bixa sembari membaca buku terlihat tenang dan tidak dibawah kendali ia tersenyum, Bixa sudah lebih paham apa yang ia ajarkan. Sebenarnya Bixa tidak terlalu buruk dalam akademik dan juga berpikir cuma ia tidak pernah mencobanya.
“Nih, udah selesai,” Bixa menyandarkan punggungnya di kaki sofa ia juga merelaksasi tangannya yang terus menerus menulis tanpa henti.
Kale menaruh buku bacaannya dan mengambil buku catatan Bixa. “Yakin bener semua jawabannya?” tanya Kale.
“Coba liat aja, bener semua, kok,” ucap Bixa dengan percaya diri.
Kale mengoreksi jawaban Bixa satu persatu dan semuanya benar ia tersenyum lalu memberi nilai dibuku tersebut.
“Idih dikasih nilai kayak anak TK aja,” celetuk Bixa.
“Itu reward buat lo karena udah bisa ngerjain sendiri tanpa bantuan gue,” balas Kale.
“Masa reward nya gitu doang, gue bukan anak TK, ya,” gerutu Bixa.
“Nanti kalo lo lulus ujian matematika minat baru gue kasih reward yang beneran,” ucapnya lagi.
Bixa terlihat sangat antusias dengan ucapan Kale ia reflek memajukan tubuhnya semakin dekat dengan Kale.
“Serius? Apa reward nya?” Kale sedikit terkejut melihat pergerakan Bixa mereka saling bertatapan dalam waktu yang cukup lama satu senyuman terukir dibibir Kale ia memajukan wajahnya yang membuat Bixa dengan cepat mundur karena jarak mereka sangat dekat.
Jantung Bixa berdegup kencang melihat wajah Kale tepat didepan matanya Kale benar-benar mengikis jarak diantara mereka. Kale menatap Bixa masih dengan senyuman yang menurutnya itu sangat manis dan tampan ia sedikit terkejut saat Kale memiringkan kepalanya dan mata yang tertuju pada bibirnya. Apa ini? Apakah Kale benar-benar akan menciumnya? Sontak Bixa memejamkan matanya karena sudah tidak bisa melihat apa yang didepannya sekarang.
Kale terkekeh kecil ketika melihat Bixa memejamkan mata ia seperti sudah siap untuk dicium tapi itu bukan tujuan utama Kale ia hanya ingin mengelap bekas cokelat yang ada dibibir Bixa karena ia memakannya tadi.
“Ngapain merem?”
Anjing.
Bixa kembali membuka matanya karena semua tak seperti bayangannya Kale benar-benar merusak suasana padahal ia sudah siap untuk menerima ciuman itu. Ah tidak, ia baru sadar bahwa mereka tidak bisa melakukan itu karena masih duduk dibangku SMA. Kale juga tidak segampang itu untuk mencium Bixa.
Bixa mengedipkan matanya seolah kelilipan ia mencoba agar tidak terlalu merasa malu sekarang.
“Ini kelilipan mata gue, lo ngapain deket-deket? Sana bau tau badan lo,” Bixa mendorong Kale agar menjauh darinya. Kale hanya bisa tertawa kecil dan menjauhkan tubuhnya dari Bixa.
“Lap dulu itu bibir lo ada bekas cokelatnya,” Bixa mengambil tisu yang diberikan Kale lalu mengelapnya.
Itu benar-benar sangat memalukan Bixa sudah kegeeran akan mendapat ciuman dari Kale namun itu hancur begitu saja dan Kale penyebabnya.
She's so cute