Papah, tolong Nara
Nara membuka pintu kostan dan mendapati pandangan gelap karena lampu dimatikan. Ia menyalakan satu lampu di ruang tengah lalu berjalan ke kamar untuk melihat Ayahnya apakah sudah baik-baik saja.
Ia melihat sang Ayah sedang berkaca dengan menggunakan jaket kulit miliknya, Nara tersenyum. Ayahnya sudah membaik sekarang.
“Ayah udah baikan?” tanya Nara namun tidak ada jawaban dari Ayahnya.
“Oh iya, makanannya udah Ayah makan belum? Tadi sebelum jalan Nara masak dulu buat Ayah,” ucap Nara lagi namun sama sekali tidak digubris oleh Ayahnya.
Nara masuk ke dalam kamar mendekat kearah Ayahnya, namun langkah berhenti ketika sang Ayah mulai berbicara.
“Kamu bertemu dengan keluarga mu itu?”
Satu pertanyaan yang membuat Nara tak berkutik, bagaimana Ayahnya mengetahui itu? Apakah Nara sedang diikuti oleh seseorang?
“Jawab pertanyaan Ayah!” suara bentakan dari sang Ayah membuat Nara terkejut, dengan cepat menjawab sang Ayah.
“I-iya, tadi Nara ketemu sama kak Mark, Jeno sama Sungchan,” ucap Nara dengan nada bergetar.
Nara semakin terkejut saat kerah hoodie nya ditarik oleh Ayahnya, badannya sedikit terangkat akibat tarikan Ayahnya yang begitu kuat sembari menatap tajam kearahnya.
“Jangan pernah temui mereka lagi,” terlihat jelas oleh Nara wajah yang merah padam dengan urat-urat wajah yang menonjol. Sangat menyeramkan.
Nara mencoba melepaskan genggaman Ayahnya pada kerah hoodie nya, dirinya mulai tercekik sekarang.
“Kenapa tidak menjawab? Tidak mendengar apa yang saya katakan?” lagi-lagi Nara tidak menjawab Ayahnya, ia sangat takut dan tidak bisa berkata sepatah pun.
“JANGAN PERNAH TEMUI MEREKA LAGI!!”
'Brukk!'
Tubuh Nara menghantam tembok disana, dilempar oleh sang Ayah dengan keras. Nara dapat merasakan sakitnya kembali, kali ini lebih menyakitkan.
Air matanya mulai menetes karena sakit yang luar biasa di punggungnya, bahkan dirinya tidak dapat bergerak sama sekali.
“Mulut kamu enteng juga ya, memberi tahu mereka semua tentang apa yang sudah saya lakukan ke kamu,” sang Ayah mencengkeram kedua pipi Nara.
“Apa saya harus memberi pelajaran untuk mulut entengmu ini?” Nara menggeleng cepat ketika mendengar itu. Ia tidak mau merasakan sakit di seluruh tubuhnya lagi.
“Saya butuh jawaban! JAWAB SAYA!!” lagi-lagi Nara dibentak tepat didepan wajahnya.
Nara hanya bisa menangis sekarang, ia sangat takut dengan Ayahnya yang dengan celat berubah menjadi monster.
“Oke, tidak ada jawaban. Kamu benar-benar ingin diberi pelajaran, ya,” Nara kembali menggeleng namun satu tamparan sudah mendarat dipipi kanan nya.
Satu tamparan keras lagi ia terima dipipi kirinya. Kedua pipinya merah sekarang dan sangat panas. Sepertinya akan tumbuh luka, lagi.
Tidak sampai disitu, tubuh Nara diseret sampai kamar mandi kecil disana. Wajah Nara dicelupkan ke dalam bak air berkali-kali lalu sang Ayah menyalakan keran air yang langsung mengguyur kepala hingga sekujur tubuhnya. Dingin, sangat dingin.
“A-ayah..dinginhh..”
Sang Ayah tidak mendengarkan Nara, ia sudah tidak peduli dengan anak perempuan yang menurutnya kurang ajar itu.
“Dasar anak kurang ajar! Tidak tahu diri!”
'Dug!'
Kepala Nara terasa pusing saat menghantam tembok dibelakangnya, sang Ayah yang melakukan itu. Pandangannya kabur, sangat pusing. Matanya sudah tidak bisa menahan untuk tetap sadar, air dari keran terus mengalir di tubuhya. Pandangannya gelap, tubuhnya terjatuh dilantai.
“Papah, tolong Nara..”
Nara tak sadarkan diri.
Sang Ayah keluar dari kamar mandi tersebut lalu mengunci Nara didalam dengan air keran yang masih terbuka.
Nara hanya berharap dia dapat melihat matahari esok hari, ia sangat mengharapkan itu.
© jenxclury