Permohonan Nara
Jam sudah menunjukkan pukul 8 malam, sesuai janji Mark pada Nara ia akan datang ke minimarket tempat Nara bekerja. Mark tersenyum saat mendapati Nara di tempat kasir ketika selesai melayani pelanggan. Nara pun membalas senyuman Mark.
“Udah selesai kerjanya?” tanya Mark.
“Hm.. Sebentar lagi, tapi gapapa, kita bisa bicara sekarang,” balas Nara.
Mark menghembuskan napasnya lalu melihat ke sekeliling, ia tampak tak asing dengan tempat ini karena Mark pernah membeli cemilan di toko tersebut.
“Kamu kenapa gak cerita kalo kerja disini? Aku pernah kesini, tapi kok kamu gak ada?” ucap Mark.
Nara terkekeh pelan, “aku juga liat Kak Mark pernah kesini, cuma waktu itu aku sembunyi. Karena aku takut,” jelas Nara.
“Why? Kenapa sembunyi? Seharusnya kita bisa lebih cepet ketemu waktu itu,” perkataan Mark membuat Nara menundukkan kepalanya dan tersenyum tipis.
Mereka sudah duduk di kursi yang tersedia disana, agar lebih nyaman untuk membicarakan banyak hal.
“Aku masih takut, saat itu aku bener-bener mau menghindar. Aku gak tau harus apa, mungkin karena lukanya masih ada,” tutur Nara.
“Maaf.”
“No, it's okay. I'm getting better now.”
“Mungkin aku yang minta maaf karena udah lost contact lagi sama Kak Mark. Karena Ayah yang blokir semuanya,” ucap Nara.
“No, kamu gak salah,” Mark mengusap pundak Nara pelan namun Nara menghindari nya dan meringis kesakitan.
Mark terheran akan itu, padahal ia hanya mengusapnya pelan. Tapi mengapa reaksi Nara seperti itu?
“Kamu kenapa? Ada yang sakit?” tanya Mark mulai khawatir.
Ini sudah dua minggu berjalan namun rasa sakit dan luka biru yang ada diseluruh tubuhnya masih membekas. Memang Ayahnya sudah tidak memukulinya lagi, tapi sakitnya masih terasa saat Mark menyentuhnya.
“Aku gapapa, Kak.”
“Jangan bohong, Ra. Jelasin semuanya ke aku.”
Nara diam. Ia takut untuk mengungkapkan ini—tentang Ayahnya terakhir kali memukulinya lagi dan menguncinya di kamar mandi hingga wajahnya memucat.
“Kamu dipukuli lagi sama Ayah mu?” Nara masih diam, ia semakin tak berani menatap mata Mark yang menatapnya tajam.
“Ra, look at me. Tell me the truth, Ayah kamu pukul kamu lagi?” Mark menggenggam lengan Nara dan menyentuh dagunya agar menatap mata Mark.
Entah mengapa mata Nara begitu perih sampai akhirnya air matanya lolos begitu saja.
“Oh, god.”
Mark membawa Nara kedalam pelukannya yang menangis. Hati Mark terasa sakit jika melihat Nara seperti ini. Rasa kesal dan sedih sudah menjadi satu, menyelimuti hati Mark. Ia mendekap tubuh Nara, tangisannya semakin terdengar, Mark mencoba menenangkan Nara.
“Kak Mark, sakit.”
“Sakit, Kak.”
“Semuanya sakit.”
Mark memejamkan matanya, rasa sakit yang dirasakan Nara terhantarkan oleh Mark. Matanya sudah berkaca-kaca namun ia menahan air matanya untuk keluar.
“Ada aku, Ra. Jangan takut,” kalau boleh, Mark hanya ingin memeluk Nara terus seperti ini.
Saat mereka sedang bertemu kangen, melepaskan seluruh kerinduan yang membuat mereka sakit, seseorang menarik tangan Nara dengan kencang dan membawanya keluar dari toko itu. Pelukan itu terlepas secara paksa, Mark mengejar orang yang membawa Nara aedang meringis kesakitan.
“Lepasin Nara!”
Teriakan Mark tidak didengarkan oleh pria paruh baya itu, ia tetap berjalan—menyeret Nara jauh dari Mark.
“Lepasin Nara atau Anda saya laporkan ke polisi atas kasus kekerasan terhadap anak,” teriak Mark dengan napas yang menggebu-gebu.
Langkah pria itu berhenti namun cengkeraman tangannya belum dilepaskan, air mata Nara semakin deras karena itu.
“Atas dasar apa kamu berani melaporkan saya? Kita tidak saling kenal, jadi tidak usah ikut campur dengan urusan orang lain!” tegas Agra.
Ya, itu Agra.
Nara hanya bisa diam karena dan menangis sekaligus tidak berani menatap mata sang Ayah karena itu sangat menakutkan. Cengkeraman tangannya semakin dikuatkan Nara semakin meringis kesakitan.
“Karena Nara adik saya, jadi saya harus ikut campur atas masalah ini. Saya tidak akan membiarkan Anda untuk menyakiti Nara lagi,” cetus Mark.
“Saya Ayah kandungnya. Kamu tidak berhak untuk melarang-larang saya!” seru Agra.
“Tidak ada seorang Ayah yang tega melakukan kekerasan pada anaknya. Anda tidak pantas dipanggil seorang Ayah,” ucap Mark dengan nada yang sedikit ditekan.
“Bahkan kata bajingan masih terdengar bagus untuk Anda,” lanjut Mark yang menatap tajam Agra.
“Kurang ajar!”
Langkah Agra terhenti saat Nara menahan tangannya yang hampir saja melayangkan satu tinjuan pada Mark, Nara mencegah itu dengan cepat. Ia tidak ingin Mark terluka oleh tangan Ayahnya, cukup hanya ia yang rasakan.
“Udah, Yah, stop jangan berantem, ya. Nara yang salah, kak Mark gak salah,” ucap Nara masih dengan air mata mengalir.
“Kamu benar-benar keterlaluan! Selalu saja membangkang saya. Kita pulang, kamu harus diberi pelajaran,” ketus sang Ayah lalu menarik paksa Nara kembali.
“Saya bilang jangan sakiti Nara!” teriak Mark. Langkah mereka berhenti kembali.
Mark mengangkat ponsel agak tinggi yang memperlihatkan nomor kantor polisi, ia akan memencet tombol memanggil jika Agra menyakiti Nara lagi.
“Saya akan memencet tombol memanggil dan Anda akan mendapatkan hukuman yang seberat-beratnya,” ancam Mark.
Agra menggertak kan giginya, rasa kesal sudah benar-benar menyelimuti dirinya. Ia berusaha untuk menahan emosinya karena Nara yang terus menahannya.
“Lepaskan Nara, biar Nara pulang sama saya,“ucap Mark lagi.
“Nara anak saya. Dia harus pulang ke rumahnya.”
“Saya akan antar Nara ke rumah Anda, setidaknya itu lebih baik daripada harus pulang bersama Anda,” Mark mendekat dan menggenggam tangan Nara lalu menariknya agar terlepas dari cekatan Agra.
Agra membiarkan Nara bersama Mark, sepertinya Mark tidak akan berbohong untuk membawa pulang ke rumahnya. Ia juga sedikit takut jika harus dilaporkan ke polisi.
“Saya tunggu di rumah, awas jika tidak pulang,” ucap Agra pada Nara dengan penuh penekanan.
Nara mengangguk pelan lalu berjalan mengikuti Mark menuju mobilnya. Mereka berdua hanya diam saat sudah berada didalam mobil, Mark masih berusaha untuk menetralkan emosinya sedangkan Nara hanya diam gelisah, tidak tahu apa yang harus ia katakan setelah kejadian tadi.
“Aku mau bilang papah soal ini,” ucap Mark tiba-tiba yang membuat Nara terkejut.
“No, please, Kak, jangan. Aku gak mau papah tau soal ini,” Nara memohon.
“Ra, kamu mau terus-terusan tinggal sama dia? Kamu mau terus-terusan disakitin sama dia? Dia bukan Ayah kamu, Ra, sadar!” ucap Mark dengan nada bicaranya yang sedikit tinggi.
Nara menundukkan kepalanya,“dia Ayah aku, Kak. Gak selamanya dia bakalan sakitin aku. Tolong jangan kasih tau papah,” Nara memohon lagi.
“Kamu keras kepala banget, ya, Ra. Kamu pilih tinggal sama bajingan itu daripada pulang ke rumah, kalo papah tau dia akan marah banget, Ra.”
“Pas tau gimana anak perempuan satu-satunya disakiti sama orang yang katanya 'Ayah'. Dia gak pantes disebut Ayah, Ra,” Nara hanya diam saat Mark mengatakan itu dan menunduk.
Mark menyalakan mesin mobilnya lalu emlaju cepat menuju kostan milik Nara.
Tidak membutuhkan waktu lama karena jarak antara tempat kerja Nara dan kostan tidak jauh. Mark memarkirkan mobilnya didepan gang kostan Nara, ia menurunkan Nara disini karena mobilnya tidak bisa masuk.
“Kak Mark, tolong jangan kasih tau papah, ya, tolong,” Nara menggenggam lengan Mark dan memohon lagi.
Pandangan Mark lurus kedepan ia tak menatap Nara, takut amarah mendominasi dirinya lagi.
“Aku gak bisa janji.”
Nara tersenyum tipis lalu mengangguk pelan,“kak Mark hati-hati dijalan ya,” Nara keluar dari mobil itu lalu berjalan menuju kostannya.
Mark tidak langsung menjalankan mobilnya pergi, ia menunggu beberapa saat, takut jika terjadi apa-apa pada Nara. Cukup lama, sampai dia rasa sudah aman tidak ada tanda-tanda yang mencurigakan, Mark melajukan mobilnya pergi dari sana.
Nara memasuki rumah itu dengan rasa takut di hatinya, takut jika Agra emosi kembali. Ia membuka pintu dan mendapati Agra yang sudah duduk di sofa kecil menatapnya dengan tajam. Suasana menjadi awkward, sampai Agra yang memulai pembicaraan.
“Bagus kamu ya, sudah berani membantah saya.”
“Maaf, Ayah, Nara bohong sama Ayah. Kalau Ayah mau pukul Nara silahkan,” ucap Nara pasrah.
Agra terdiam sebentar menatap Nara, ia sangat ingin memberi pelajaran pada Nara namun dia berusaha menahan itu.
“Udah sana masuk kamar.”
Tanpa menanyakan alasannya, Nara bergegas masuk ke kamar. Ia tidak ingin membuat Agra semakin marah dan akan berakibat buruk pada dirinya.
'Saya harus menahan emosi saya dan berusaha baik pada Nara. Dengan begitu, saya dengan mudah mendapatkan semua harta milik Jung,' batin Agra.
© jenxclury