Reckless: Ian de Jong

cw // harsh word, fight, mention of blood


Deruan mesin motor ninja terdengar dari kejauhan seorang pria menoleh ke arah sumber suara dengan seringai dibibirnya. Ia membuang nikotin itu lalu menginjaknya sampai hancur. Pria itu menghampiri seseorang yang memarkirkan motor ninjanya di pinggir lapangan.

Pria jangkung itu membuka helmnya lalu berjalan menghampiri pria berkulit tan yang berdiri disana. Mereka saling bertukar pandang.

“Oh, lo dateng juga? Kirain nggak bakal dateng,” ucapnya. Pria tinggi itu tertawa kecil mendengar ucapan orang yang ada didepannya.

“Ian, ian … gue nggak cupu kayak lo,” balas si pria tinggi. Dia Jevan.

Ian dan Jevan berada di lapangan luas dekat sekali dengan tempat tongkrongan mereka. Jevan menerima tantangan Ian untuk datang ke tempat ini dan bertemu dengannya. Entah apa yang akan Ian lakukan tetapi ia yakin, keduanya pulang dengan luka lebam diwajah.

Jevan bahkan tidak peduli, ia benar-benar muak dengan tingkah Ian selama ini yang terus-menerus menyakiti Naya.

“Ngapain aja lo semalem sama Naya?” tanya Ian pada Jevan.

“Oh salah, seharusnya pertanyaan gue bukan itu. Seneng, gak, abis pake cewe gue?” tengil Ian.

Jevan mencoba menahan amarahnya yang semakin lama memuncak saat Ian mengucapkan kata itu. Bagaimana bisa ia berpikir seperti itu? Secara tidak langsung Ian merendahkan wanitanya sendiri.

“Gampang banget mulut lo bilang gitu? Bahkan lo nggak tau yang sebenernya gimana,” ucap Jevan. Wajahnya sudah merah padam, ia tidak bisa menahannya lagi kali ini.

“Emang bener, kan? Gue tau persis kelakukan lo, Jev. Nggak usah ngelak,” ketus Ian.

“Bangsat!”

Satu tinjuan berhasil Jevan layangkan tepat dipipi kiri Ian yang tersungkur ke tanah dan meringis kesakitan. Jevan meraih kerah Ian lalu mencengkeramnya erat.

“Gue sama sekali nggak pernah ngelakuin itu ke Naya! Dan lo seharusnya nggak merendahkan Naya kayak gitu!” Jevan terjatuh saat Ian menendang bagian perutnya.

Ian merapikan bajunya yang sedikit berantakan lalu meraih kerah kemeja Jevan dan menatap Jevan tajam.

“Gue nggak butuh bukti, Jev, itu udah kelakuan lo sehari-hari dan dugaan gue nggak pernah salah,” ucap Ian pede.

“Oh iya? Dugaan gue juga nggak salah, dong, kalo lo semalem have fun sama Vania?” Jevan menatap Ian nyalang.

“Lo nggak pantes buat Naya, Yan,” ucapnya lagi.

“Bacot! Jangan samain gue sama lo!”

Ian menghujam wajah Jevan berkali-kali karena emosinya yang sudah meluap seperti api. Wajah Jevan terlempar kesana-kemari menerima hujaman dari Ian.

Jevan menendang Ian yang terpental jauh, Jevan pun bangkit dan membalas Ian dengan dua tinjuan di pipi kanan dan perut. Ian meringis kesakitan namun tidak sampai disitu, Ian terus membalas begitupun dengan Jevan.

Keduanya tidak ada yang ingin berhenti, mereka sama-sama tersulut emosi dan tidak akan pernah berhenti. Naya yang baru saja sampai di tempat itu segera menghampiri mereka yang bertengkar hebat. Benar saja dugaannya mereka sudah bertumbuk badan sudah lebih dari 10 menit tadi.

“Ian! Jevan, stop!” teriak Naya namun tak memberhentikan keduanya.

Naya menarik tubuh Ian agar menjauh dari Jevan. “Jevan, stop!” Jevan berhenti saat mendengar suara Naya namun matanya tetap menatap Ian.

“Lo berdua apa-apaan, sih?! Kayak anak kecil, tau, gak!” omel Naya.

Ian mencengkeram lengan Naya lalu menatapnya. “Bilang sama gue, Nay, lo diapain sama bajingan itu?” ucap Ian menatap Jevan sekilas.

“Gue nggak di apa-apain, Yan. Tadi gue juga udah bilang sama lo, kan,” balas Naya.

“Sekarang pulang, nggak ada gunanya lo berantem kayak gini,” ucapnya lagi.

Naya memperhatikan wajah Ian yang penuh dengan luka lembab, ia meringis. Itu pasti sangat sakit.

“Jangan bohong sama gue, Nay, bilang sama gue biar bajingan itu gue habisin!” perintah Ian.

“Ian stop! Jevan nggak apa-apain gue. Kita pulang sekarang.” Naya menarik lengan Ian untuk pergi bersamanya. Ia tetap menatap Jevan nyalang.

Jevan menyengka darah disudut bibirnya. Seluruh wajah sampai tubuhnya terasa sakit, tangannya pun merah dan sedikit mengeluarkan darah akibat tinjuan yang ia berikan pada Ian tadi.

Jevan berjalan tertatih menuju motornya, ia menghela napasnya kasar lalu memakai helmnya kembali. Perasaannya terasa lega karena sudah menyalurkan amarahnya pada Ian. Sudah lama ia menunggu masa ini, memberi Ian pelajaran.


“Argh! Pelan-pelan, Nay.” Naya mengusap sudut bibir Ian yang terus mengeluarkan darah dengan kapas yang dibasahi dengan alkohol.

“Ini udah pelan, Yan. Tahan aja.”

“Gue nggak suka, ya, lo gini lagi. Bisa percaya aja, gak, sama gue? Gue nggak macem-macem sama Jevan,” jelas Naya.

“Gue nggak percaya sama Jevan, Nay. Gue tau dia gimana.” Naya menaruh obat medis di meja nakas lalu menatap Ian dalam.

“It’s okay lo nggak percaya sama Jevan, gue nggak maksa. Tapi yang jelas kita nggak seperti yang lo pikirin,” ucap Naya.

Naya bangkit dengan membawa kotak obat tersebut untuk menaruhnya kembali. Langkahnya terhenti saat Ian menahan tangannya.

“Soal yang semalem gue min—” belum sempat Ian meneruskan kalimatnya Naya sudah lebih dulu memotong ucapannya.

“Lupain, gue nggak mau bahas itu. Gue butuh waktu sendiri dulu.”

“Nih, kotak obatnya gue taro tempat biasa. Biar lo gampang nyarinya,” ucapnya lagi.

“Lo yang rawat gue aja, bisa?” Naya terdiam sebentar ketika mendengar ucapan Ian. Apakah ia sedang merayunya saat ini?

“Minta tolong aja sama Van—”

“Gue maunya lo, Nay,” lirih Ian.

“Gue tau gue salah tapi tolong rawat gue, Nay,” ucapnya lagi.

Naya menghembuskan napasnya pelan. Jika dilihat memang kondisi Ian sangat mengenaskan. Wajahnya penuh dengan luka lebam, perutnya masih terasa sakit dan juga kakinya sulit berjalan karena kena tendangan oleh Jevan.

Naya mengangguk pelan, Ian tersenyum senang lalu merengkuh pinggang ramping Naya. Ia menyamankan kepalanya di tengkuk Naya, menghirup parfum vanilla khas Naya.

“Ian, don’t do this.” Naya mencoba melepaskan pelukan Ian namun tidak bisa. Ian semakin mempererat pelukannya.

“Sebentar aja, Nay, I wanna charge my energy,” ucapnya.

Naya terdiam pasrah dan membiarkan Ian memeluknya. Sebenarnya banyak sekali yang ia tanyakan pada Ian namun ia tidak mau mencari keributan. Hatinya masih terasa sakit akan semalam, ia benar-benar kecewa dengan Ian. Biarkan saja seperti ini, setidaknya pelukan Ian membuatnya sedikit lega.

© jenxclury