The Devil
“Apa-apaan ini cuma segini?!” seorang pria membuang beberapa lembar uang kertas ke wajah gadis perempuan didepannya.
“Aku cuma ada segitu, Yah. Cuma itu yang Nara punya.”
Ya, Agra telah menerima uang yang sudah dijanjikan Nara malam ini, namun ia tidak puas dengan apa yang didapatnya. Hanya lima lembar uang seratus ribu dan itu tidak cukup untuknya. Uang itu simpanan Nara untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, namun sekarang sudah pindah tangan ke Agra.
“Masa mereka cuma ngasih kamu segini? Papah mu itu udah bangkrut, kah?” ucap Agra.
“Nara gak minta sama papah, Yah. Itu uang simpenan Nara, gak enak kalo minta papah terus.”
“Nanti kalo Nara dapat uang lagi, sisanya Nara kasih ke Ayah, ya,” ucapnya lagi.
“Alah, baru juga minta sekali, papah mu itu pelit banget. Saya gak mau tau, kamu harus cari lagi sisanya. Saya butuh malam ini juga,” seru Agra.
“Yah, Nara belum bisa cari lagi, yang kemarin udah semuanya Nara kasih ke Ayah. Gak mungkin, kan, Yah, dalam dua hari udah abis uangnya. Ayah pake untuk apa?” ucap Nara. Benar, ia sangat ingin tahu untuk apa uang itu digunakan.
“Kamu gak perlu tau, ini urusan saya. Tugas kamu hanya mencari uang,” ucap Agra dengan nada emosinya.
Emosi Nara memuncak saat mendengar kalimat itu, bukankah seharusnya seorang Ayah yang bekerja? Nara hanyalah seorang anak yang bertanggung jawab dengan belajar dan pergi sekolah, bukan bekerja. Agra sudah sangat melewati batas, Nara harus mencoba untuk melawan jika tidak Agra akan terus seperti ini.
“Kerja? Bukannya seharusnya ayah yang kerja? Tugas seorang ayah adalah bekerja. Bukan anak, Yah.”
“Aku cuma seorang anak yang seharusnya belajar dan pergi sekolah, toh, kalo emang harus kerja, hasil gaji itu milik aku. Bukan milik Ayah,” tegas Nara.
'Plak!'
“Kurang ajar kamu, ya, berani melawan saya!” wajah Agra memerah terlihat urat-urat wajahnya menonjol. Pipi Nata terasa panas dan merah akibat tamparan keras dari Agra, air matanya mengalir menyusuri pipi merah tersebut.
“Beraninya kamu berbicara seperti itu pada saya!? Kamu seharusnya bersyukur, saya masih mau menganggap kamu anak!”
“Aku gak pernah mau dianggap anak sama Ayah! Gak ada seorang Ayah yang tega nyakitin anaknya sendiri bahkan memanfaatkan anaknya demi kesenangan hidup Ayah sendiri!”
“Aku udah cukup sabar selama ini, Yah, aku selalu terima luka yang setiap hari Ayah kasih ke aku.”
“Aku kira aku akan bahagia tinggal bersama ayah kandung aku, aku seneng bisa ketemu ayah waktu itu. Tapi kenyataannya, tinggal sama papah jauh lebih baik daripada tinggal sama Ayah!”
'Plak!'
Lagi, Nara mendapatkan tamparan keras lagi dari Agra. Nara sudah meluapkan emosinya yang selama ini ia pendam, terlalu sakit jika ia menyembunyikan ini dalam waktu berkepanjangan. Ia tidak ingin hidup seperti ini. Ia ingin hidup kembali seperti sebelum dirinya bertemu dengan Agra dan mendapatkan semua luka ini. Sangat sakit rasanya.
“Kamu benar-benar anak yang kurang ajar! Kamu sama aja kayak ibu kamu!” Agra mengambil benda panjang dikantong celananya, mata Nara membulat saat melihat benda tersebut.
Sebuah pisau lipat yang sudah ada digenggaman Agra.
“Akan lebih baik jika kamu menyusul ibumu, Nara. Dengan begitu saya akan hidup dengan tenang,” ucap Agra yang mulai mendekat dengan menodongkan pisau lipat ke arah Nara.
“Nggak, Ayah, jangan!”
“KAMU LEBIH BAIK MATI!!”
Agra menaikkan pisau lipat itu dan mengarahkan ke wajah Nara namun tangan Nara lebih dulu menahan pisah itu walau tangannya terluka sekarang. Aksi gila Agra harus dihentikan sekarang juga.
“Stop Ayah! Ini Nara, anak kandung Ayah!”
“Saya tidak pernah mau punya anak kandung yang kurang ajar seperti kamu!”
Agra menekan pisau itu ditangan Nara membuat darah segar mengalir menuruni lengan putihnya. Nara mulai meringis kesakitan, karena benda tajam tersebut sudah menusuk dalam telapak tangannya.
“Ayah.. S-sakit.”
Nara harus menyingkirkan Agra sebelum telapak tangannya robek akibat pisau itu. Ia menendang perut bawah Agra membuat pisau itu terlepas dari tangannya lalu ia berlari keluar rumah untuk menyelamatkan diri.
“Akhh! Jangan lari kamu!”
Nara terus berlari sampai menuju tempat ramainya orang namun tidak ada orang sama sekali disana. Wajar saja karena hari sudah mulai tengah malam, orang-orang tidak lagi berkeliaran keluar rumah. Nara melihat kebelakang dan melihat Agra mengejarnya dengan pisau lipat yang masih berada ditangannya.
'Duk!'
“Akhh!”
Nara tersandung batu besar yang membuat lututnya mengeluarkan darah segar. Agra tersenyum miring mendapati Nara yang sudah tidak bisa lari kemanapun, kakinya sulit untuk berlari sekarang. Ini kesempatan nya untuk membawa Nara kembali ke rumah.
Nara mulai ketakutan karena Agra semakin mendekat ke arah nya. Ia mencoba berdiri namun tidak bisa, kakinya sangat sulit untuk digerakkan. Nara menyeret tubuhnya untuk menjauh dari Agra namun terlambat, Agra menarik kaki Nara dan menyeretnya dari sana.
“Kamu tidak akan bisa lari dari saya, Nara. Kamu semakin nakal, maka kamu akan semakin terluka,” Agra tertawa kecil melihat Nara yang meringis kesakitan.
Tubuhnya sudah terlihat luka-luka kecil akibat bergesekkan dengan aspal, tangisan dan teriakkan Nara semakin keras tak dihiraukan oleh Agra. Tangannya mencoba menahan agar tubuhnya tak tertarik oleh Agra namun tidak bisa. Tenaga Agra sangat kuat sekarang.
Agra benar-benar terlihat seperti psikopat.
Nara melihat sekelilingnya dan melihat sebuah batu yang lumayan besar, dengan segera ia ambil batu tersebut lalu ia lemparkan tepat mengenai kepala Agra. Agra terjatuh memegangi kepalanya yang pusing, telihat darah mengalir dari sana. Nara segera bangun dengan hati-hati dan berlari kecil agar jauh dari Agra.
Lututnya masih terasa sakit karena lukanya yang semakin melebar ia terus berlari semampu dirinya sampai akhirnya Agra sudah tak terlihat, ia bersembunyi dibalik tempat sampah besar dan membuka ponselnya untuk mengabari seseorang yang bisa menolongnya sekarang.
'Papah'
Benar, ia harus menghubungi Jaehyun sekarang.
© jenxclury