When We First Met


“Berhentiin, gak, mobilnya? Lo lancang banget!” teriak Isla.

“Ini mobil punya lo, kan? Gue pinjem dulu,” balasnya singkat. Kaki kanannya menginjak pedal gas yang membuat mobil itu melaju sangat cepat, lagi-lagi Isla terkejut.

“Bisa pelan-pelan, gak? Lo mau ngajak gue mati, hah?!” omel Isla. Lagi-lagi pria itu tak mendengarkan Isla, ia hanya fokus menatap jalan bahkan ia tidak tahu harus kemana. Yang penting ia jauh dari jangkauan pria bertubuh besar tersebut.

Sedangkan Isla tidak bisa berkata-kata lagi, matanya terpejam, tidak sanggup untuk melihat jalanan. Bayangan dalam otaknya yang membuatnya berpegangan sangat erat. Bagaimana jika mobil ini menabrak sesuatu? Bagaimana kalau dirinya tidak sela—Ah tidak. Ia tidak boleh berpikiran seperti itu.

Terdengar suara lenguhan napas lega dari pria disampingnya dan juga ia merasakan laju mobil ini tidak terlalu cepat, Isla pun membuka matanya.

Sorry bikin lo panik, tapi gue beneran nggak ada niat jahat. Gue lagi dikejar-kerjar orang,” jelasnya.

“Makanya lo kalo punya utang, tuh, dibayar. Malah kabur,” ucap Isla dengan sinis.

“Enak aja bilang gue punya utang! Gue, nih, artis. Ya kali ngutang,” balas pria itu ketus. Ia sangat tidak terima akan ucapan Isla tadi.

Isla tertawa keras saat mendengar balasan pria tersebut, “Kalo lo emang artis, gue bakalan laporin semua skandal lo hari ini.”

“Ngambil mobil orang tanpa izin, kebut-kebutan, punya utang, terakhir, lo memalsukan identitas. Udah nggak usah bohong, deh,” kata Isla sembari tangannya seperti menghitung semua kesalahan pria itu.

Pria itu menganga tak percaya dengan ucapan Isla. Ia benar-benar seorang artis, bahkan namanya selalu terpampang jelas di segala macam media massa.

Suasana hening seketika, Isla rasa pria itu memang pembohong maka dari itu ia tidak bisa berkata-kata lagi. Pria itu menepikan mobil hitam milik Naka di pinggir jalan lalu menatap Isla sebelum ia keluar dari mobil.

“Gue emang salah bawa mobil lo tanpa izin terus kebut-kebutan, tapi gue sama sekali nggak punya utang apalagi memalsukan identitas.”

“Nih, gue akan ganti rugi semuanya, tapi kalo dipikir-pikir gue nggak ngerugiin lo, sih,” pria itu memberi sebuah kartu pada Isla lalu keluar dari mobil itu.

“Lo hampir bikin nyawa gue ilang, ya!” teriak Isla dari dalam mobil.

Isla melihat kartu yang diberi oleh pria tadi namun kartu itu bukanlah kartu nama melainkan kartu pelajar sekolah menengah. Nama pria itu bercetak bold terpampang jelas disana, Melka Kahfsa dan terdapat alamat rumahnya juga.

“Masih SMA aja belagu lo, Dek,” gerutu Isla yang melihat punggung Melka mulai menjauh.

'Tok tok!'

Isla terkejut kala suara ketukan dari kaca mobilnya, ia sudah panik jika ada orang jahat yang menghampiri mobil namun ternyata itu adalah Naka dan Bian.

Dengan cepat Isla keluar dari dalam mobil dan menghampiri mereka.

“Lo nggak apa-apa, La?” tanya Naka dengan wajah paniknya.

Bian melihat ke dalam mobil seperti mencari sesuatu, “Mana orang yang bawa mobil tadi, La? Kok ada?” ucapnya.

“Untungnya gue nggak apa-apa, orangnya udah pergi, dia juga nggak ngapa-ngapain gue,” jelas Isla.

“Syukur, deh, tapi tadi itu orang beneran?” pertanyaan yang dilontarkan dari mulut Bian membuat Isla menghela napasnya.

“Yaiyalah, kalo bukan orang, terus siapa yang bawa ni mobil,” jawab Isla.

“Ya, bisa aja gitu, hantu atau orang gila,” tambahnya.

“Udah, nggak usah dibahas lagi. Kita balik aja, kasian Jian nungguin,” kata Naka lalu masuk kedalam mobil yang diikuti oleh Isla. Sedangkan Bian berjalan menuju motornya lalu mereka pergi dari sana.

© jenxclury