jenxclury


Nara sudah sampai di rumah tepat pukul 11 malam. Ia tahu sudah sangat larut untuk pulang dan dirinya sebagai seorang perempuan. Ia hanya berharap Ayahnya tidak memarahinya dan mau mengeluarkan penjelasannya terlebih dahulu.

Nara membuka pintu rumah nya dan melihat bahwa lampu sudah mati, ia berpikir bahwa Ayahnya sudah tidur. Ia menutup pintu dengan perlahan lalu berjalan menuju kamarnya namun langkahnya berhenti ketika lampu di ruang tamu dinyalakan oleh Ayahnya.

Nara melihat kearah Ayahnya yang menatapnya sangat tajam. Nara menelan ludahnya sendiri dengan gugup, ia punya alasan yang cukup bisa dimengerti namun dirinya terlalu takut.

“Darimana kamu? Kenapa baru pulang sekarang?” tanya Ayahnya dengan nada dingin.

“A-aku dari tempat kerja,” ucap Nara gemetar.

“Sudah jam berapa ini? Emangnya pulang kerja jam segini?” Ayah mendekat kearah Nara yang menunduk takut.

Ayahnya mencium bau yang sangat menyengat dari tubuh Nara, ya bau alkohol. Tatapan yang diberikan sang Ayah semakin membuat Nara takut. Ayahnya seperti ingin menerkam seseorang.

“Kamu minum alkohol? Kamu pergi ke club dulu sebelum pulang? Iya kan?!” sang Ayah menarik hoodie yang dikenakan Nara hingga Nara sedikit terangkat dan terkejut.

“N-nggak, Yah, aku gak pergi ke club. Tolong lepasin dulu, aku bisa jelasin,” ucap Nara memegang tangan Ayahnya agar melepaskan genggaman pada hoodie nya.

“Bohong kamu! Sudah berani kamu pergi ke club? Diajarin siapa kamu seperti ini?!”

“Oh, Ayah tau, ini ajaran keluarga kamu dulu, kan? Iya kan? Jawab Ayah Nara!” teriak sang Ayah.

Nara memejamkan matanya karena takut, dirinya benar-benar takut sampai jantungnya berdegup sangat kencang.

“Nara bisa jelasin, Yah. Ayah salah paham,” air mata Nara sudah menetes sejak Ayahnya membentak dirinya tadi.

“Kamu harus Ayah beri pelajaran, ikut Ayah!” tubuh Nara ditarik oleh Ayahnya, Nara tidak menahan karena tenaga Ayahnya sangat besar. Ia mencoba bertahan pada sisi tembok namun tidak bisa.

Sang Ayah menghempaskan tubuh Nara ke lantai dengan kasar, punggung Nara membentur ujung meja, rasa sakit mulai menjalar keseluruh tubuh Nara.

“Kamu anak berandalan! Tidak tahu diri!”

Ayah mengambil sapu lantai yang terletak disana, lalu memukul tubuh Nara dengan sapu tersebut.

Bugh

“Arghh!”

Tangan, kaki, punggung hingga perut semua terjamah oleh gagang sapu tersebut. Nara terus meringis kesakitan sembari menangis, rasanya sangat sakit. Ia mencoba untuk menghentikan Ayahnya namun tidak didengarkan. Sang Ayah sudah tersulut emosi.

“Ayah stop! Sakit!”

Bugh

Bugh

“Sakit Ayah!”

Pukulan demi pukulan Nara terima, tubuhnya terasa lemas saat terus-menerus menangis dan memohon agar Ayahnya memberhentikan aksinya tersebut. Tubuhnya sangat sakit, ia semakin susah bergerak sekarang.

Nara hanya bisa menangis dan pasrah, sampai akhirnya sang Ayah tidak memukulinya lagi. Isak tangis Nara terus terdengar saat sapu tersebut dilempar kearah Nara.

Tubuh Nara meringkuk dilantai dingin tersebut, tubuhnya sangat sakit untuk digerakkan. Sang Ayah meninggalkan Nara yang meringis kesakitan, tidak peduli dengan tangisan Nara. Ia merasa kesal karena anak perempuan sudah sangat liar.

Nara terus menangis mencoba menahan rasa sakit, ia memeluk dirinya sendiri untuk menenangkan dirinya.

“Papah.. Sakit.”

© jenxclury


Nara berdecak kesal karena daya handphone nya mati total, ia lupa membawa charger handphone tersebut alhasil ia tidak bisa menghubungi Ayahnya karena terlambat pulang.

Nara menghembuskan napasnya pelan, ia baru saja selesai bekerja paruh waktu. Sekarang waktu menunjukkan pukul 10 malam, ia harus berjalan dari tempat kerjanya sampai rumah dengan memakan waktu sekitar 30 menit. Nara sudah sering melakukan ini, jadi dirinya sudah terbiasa.

Jalanan sudah terlihat sangat sepi, hanya ada beberapa kendaraan yang berlalu lalang, ia berjalan santai sembari menikmati angin malam. Namun dari kejauhan ia seperti melihat seseorang laki-laki berjalan dengan gontai menghampiri dirinya.

Sebenarnya ia sedikit takut karena laki-laki tersebut seperti mabuk. Nara mempercepat jalannya karena takut jika dirinya dalam bahaya. Laki-laki itu terus berjalan sembari bergumam tidak jelas lalu jatuh ke tanah sembari memegangi kepalanya.

Nara terkejut akan hal itu, ia tidak tahu apa yang ia harus lakukan sekarang. Perlahan ia mendekat ketika mendengar suara erangan dari laki-laki tersebut, ia memberanikan diri untuk mendekat karena suara yang dikeluarkan dari laki-laki itu Nara seperti mengenalnya.

Hanya ada cahaya lampu jalan disana yang menyinari laki-laki tersebut. Nara sudah semakin dekat dengannya lalu menepuk bahu laki-laki itu.

“Permisi, apakah Anda baik-baik saja?” tanya Nara.

Laki-laki itu dengan cepat menoleh kearah Nara karena ia merasa mengenali suara tersebut. Nara terkejut saat melihat siapa laki-laki tersebut.

Itu Jeno.

Nara tidak menyangka akan bertemu Jeno disini, dengan keadaan Jeno yang mabuk berat. Nara ingin melarikan diri dari sana namun tangannya ditahan oleh Jeno untuk tetap disana bersama dirinya.

“L-lepas!”

Nara mencoba melepaskan genggaman tangan Jeno namun tenaga Jeno sangatlah kuat. Ia tidak melepaskan genggaman tersebut.

“Lo Nara, kan?” ucap Jeno dengan mata yang menyipit namun tetap bisa melihat jelas bahwa didepannya adalah Nara.

Nara bingung harus bagaimana, ia sudah terpaku dan tidak bisa berbicara. Lidahnya terasa kaku untuk mengucapkan sepatah kata saja.

“Iya, bener, lo Nara. Akhirnya gue ketemu sama lo, Ra. Gue kangen, Ra. Ayo ikut gue pulang.”

“Semuanya kangen sama lo, Ra. Papah bakalan seneng liat lo balik,” Jeno memeluk Nara dengan erat ketika mengucapkan kata-kata itu. Nara berusaha melepaskan pelukan itu tapi tidak bisa. Ia hanya pasrah sekarang.

Nara tidak peduli lagi bahwa dia akan ketauan sekarang, ia terlihat sedih melihat kondisi Jeno sekarang. Tubuh Jeno sangat bau alkohol, Nara sesekali menutup hidungnya karena bau alkohol yang begitu menyengat.

“Lo kenapa jadi kayak gini, sih, Kak? Lo kenapa?” tanya Nara, matanya mulai berkaca-kaca.

Jeno tersenyum lebar, “gue gapapa, kok, emang gue kenapa?” ucap Jeno yang masih setengah sadar.

“Ra, jangan pergi lagi, ya, pulang sama gue. Hidup gue jadi gak jelas setelah lo pergi. Tolong, ya, Ra, ikut pulang sama gue,” ucap Jeno memohon.

“Arghh!”

Jeno merasakan kepalanya sangat pening, ia mengerang kesakitan dengan keras yang membuat Nara sangat bingung. Ada apa dengan Jeno?

“Kak, lo gapapa? Kak, kenapa?” Nara mencoba menenangkan Jeno yang terus memegangi kepalanya. Nara terlihat semakin panik, ia tidak tahu apa yang ia harus lakukan. Meminta tolong pun percuma, tidak ada orang disini.

Suara erangan Jeno melemah, matanya perlahan terpejam dan kesadaran Jeno telah hilang. Ia pingsan dipelukan Nara.

“Kak! Kak Jeno bangun!” Nara mengecek napas Jeno, masih ada.

Nara menghela napas lega, ia mencoba berpikir harus bagaimana ia sekarang. Nara mengambil handphone Jeno yang ada disaku celananya, ia mencari nomor Sungchan untuk memberitahu bahwa Jeno pingsan dijalan.

Setelah itu Nara menggeser sedikit tubuh Jeno ke pinggir jalan, agar tidak menghalangi jalan. Terpaksa Nara harus membiarkan Jeno disini, ia tidak bisa membawa Jeno ke rumah apalagi membawa Jeno pulang ke rumah Jaehyun.

“Kak, maafin gue. Gue gak bisa tolongin lo sekarang, gue juga belum bisa ikut lo pulang. Maaf.”

Nara buru-buru pergi dari sana sebelum Sungchan datang dan melihatnya.

© jenxclury


Ketika aku mulai merasakan hidup di dunia. Merasakan bagaimana kasih sayang yang semua orang inginkan, aku sangat bersyukur. Aku tak pernah henti untuk mengucap syukur atas apa yang Tuhan beri untukku. Tuhan memberikan aku kehidupan yang baik. Tuhan memberikan aku kebahagiaan tiada tara. Bersama mereka aku merasa hidupku berwarna, bersama mereka aku memiliki tameng untuk terus bertahan hidup. Bersama mereka aku tidak ingin waktu cepat berlalu. Namun tak ku sangka ternyata aku salah, aku salah mengartikan kebahagiaan yang aku alami sekarang. Mereka yang menjadi alasan kebahagiaan ku, alasan aku bertahan hidup, alasan ku untuk mencintai seseorang telah hilang dalam sekejap. Tidak ada lagi kasih sayang yang tulus, tidak ada lagi kebahagiaan dalam diriku. Semua terasa kosong. Rumpang. Dan akan selalu membekas dihati. Aku tak bisa menerima cinta, karena luka yang begitu dalam. Dikemudian hari aku hanya berharap semuanya berjalan sesuai keinginan ku. Selamat tinggal untuk semuanya, aku harap kami dapat bertemu kembali—dengan kehidupan baru yang lebih menyenangkan.

—Jungs Family

Terimakasih sudah membaca Jungs Family! Sampai jumpa di cerita selanjutnya <3

Jungs Family start: April 18, 2021 end: October 02, 2021

© jenxclury


Nara sudah kembali ke rumah Oma dengan tas ransel dipundaknya. Tidak, itu bukan berisikan baju karena dirinya mau menginap tetapi isi ransel itu adalah semua bukti yang ia kumpulkan tadi. Nara akan membuat Jaehyun tidak bisa beralasan lagi.

Ia memasuki rumah tersebut dan terlihat sudah ada 2 mobil yang Nara tahu betul siapa pemiliknya. Mobil Mark dan Jeno. Nara belum melihat mobil milik Jaehyun, mungkin sedang dalam perjalanan. Tidak apa, ia akan menunggu hingga keluarga Jung lengkap.

Nara membuka pintu besar tersebut dan mendapati Mark, Jeno dan Sungchan yang sudah duduk di sofa ruang tamu bersama Oma. Mereka tengah asik memakan cemilan yang disediakan oleh Oma.

“Kok cepet udah pada dateng?” tanya Nara. Ia terlihat tenang sekarang, seperti biasanya. Karena ia tidak mau mereka curiga.

“Cepet, dong, gue ngebut tadi,” ucap Jeno.

“Gaya lo, gue bilang papah, nih, ngebut-ngebut,” kali ini Sungchan yang berbicara.

“Dih, jangan lah.”

Mark hanya tertawa kecil melihat pertikaian para adiknya, ia mulai memperhatikan Nara yang terlihat sedikit lesu dan nampak kedua matanya bengkak seperti habis menangis.

“Ra, mata kamu kenapa bengkak gitu? Kamu abis nangis?” tanya Mark membuat semuanya menoleh pada Nara.

“Ah, nggak, kok, Kak,” ucap Nara berbohong.

Mark mengangguk mengerti tapi ia belum sepenuhnya percaya akan yang diucapkan Nara, karena itu sangat terlihat jelas bahwa Nara seperti habis menangis.

“Lo ngapain bawa tas?” tanya Sungchan.

“Mau nginep, dong, nemenin Oma,” ucap Nara masih terlihat seperti biasa. Ia terus menahan agar emosinya tidak memuncak.

“Serius?? Yes! Gue bisa mainin laptop lo sepuasnya,” seru Sungchan.

Nara tersenyum tipis sebelum kembali berkata, “pake aja gapapa, itu juga bukan punya gue,” ucap Nara dengan santai.

Mark merasa aneh dengan ucapan Nara, jelas-jelas laptop itu miliknya—pemberian dari sang papah. Namun Mark hanya diam, tak mau berbicara.

“Bener, nih, buat gue? Asik!”

“Oh iya, lo mau ngomong apa, Ra?” tanya Jeno.

“Hm.. Nanti, ya, tunggu papah.”

Tak lama kemudian suara pintu rumah terdengar, menampakkan Jaehyun dan seorang wanita dibelakangnya.

Raut wajah mereka berubah menjadi kebingungan, mengapa Jaehyun bersama Alexa? Mark dan Jeno saling bertukar pandangan, bagaimana jika Nara tahu? Lain dengan Nara, ia tersenyum miring melihat kehadiran Jaehyun bersama Alexa. Jaehyun sedikit gugup karena ada Nara disana, takut Nara merasa curiga dengan semua ini.

“Mah, ini Alexa katanya mau ketemu sama Mamah,” ucap Jaehyun yang baru saja sampai.

“Ah Alexa, ada apa?” tanya Oma dengan raut wajah yang mulai panik.

Alexa diam sebentar, ia merasa bingung dengan pertanyaan Oma. Bukankah Oma yang menyuruhnya kesini melalui Nara? Apakah dia salah?

“Bukannya Oma mau ketemu sama saya? Soalnya tadi Nara hubungi saya, katanya Oma mau ketemu,” jelas Alexa. Semua mata tertuju pada Nara yang hanya tertawa kecil.

Nara mengangkat kepalanya lalu tersenyum lebar.

“Surprise! Tante Alexa kaget, ya? Aku baru aja mengumpulkan keluarga Jung. Udah lengkap semuanya,” ucap Nara terlihat begitu senang namun semua tidak mengerti apa maksud Nara. Mereka hanya saling bertukar pandangan, apakah Nara sudah mengetahui semuanya?

“Ada papah,” Nara menunjuk Jaehyun.

“Mamah,” Nara menunjuk Alexa dan mengubah panggilannya menjadi Mamah. Semua terkejut dengan ucapan Nara.

“Ada Oma and your childrens,” ucapnya menunjuk Oma, Mark, Jeno dan Sungchan, tapi tidak dengan dirinya. Ia tidak mengklaim dirinya sebagai Jaehyun dan Alexa 'childrens'

“What about me? I'm not included, because i'm not your daughter,” ucap Nara pada Jaehyun yang masih tidak menangkap apa maksud Nara.

“Nara, what do you mean? I don't understand, you're my daughter. And always be my daughter,” ucap Jaehyun.

“Berhenti buat bohong, pah!” ucap Nara yang sedikit menaikkan nada bicaranya.

Nara membuka tas ranselnya dan menunjukkan sebuah kertas—surat perizinan adopsi anak kepada Jaehyun. Jaehyun sangat terkejut ketika kertas itu ada pada Nara, bagaimana bisa? Begitupun dengan yang lainnya, semua terkejut akan hal itu. Nara sudah benar-benar mengetahuinya.

“Ini apa, pah?” Nara menatap Jaehyun yang masih melihat kearah kertas tersebut. Jaehyun benar-benar tidak bisa berbicara sekarang, mulutnya seakan kaku, ia tidak bisa mengeluarkan kata-kata nya.

“Surat perizinan adopsi anak yang bertandatangan dibawah ini Jung Jaehyun dan Alexa Jung siap merawat Jung Nara dengan sepenuh hati dan kasih sayang,” Nara memaparkan sebagian isi surat tersebut.

“Ini apa, pah?!” teriak Nara.

Mark, Jeno dan Sungchan terkejut bukan main lantaran Nara benar-benar mengetahui semua apa yang harusnya mereka beritahu. Mereka kalah selangkah dari Nara.

“Papah sembunyiin ini semua dari aku, bertahun-tahun? Kenapa? Kenapa, pah?!” isak tangis Nara mulai terdengar dengan jelas oleh telinga mereka. Jaehyun hanya bisa terdiam dan menundukkan kepalanya, ia tahu bahwa semua adalah salahnya. Ia penyebab dari masalah ini.

“Jawab aku, pah, jangan diem aja!” Nara mengguncang tangan Jaehyun agar mendapatkan jawaban darinya.

Nara tidak bisa menahan air matanya lagi, dadanya begitu sesak, ia sudah tidak kuat untuk menahan ini semua. Amarah sudah meliputi dirinya.

“Papah pernah bilang kalo aku anak perempuan papah satu-satunya, anak yang paling papah sayang, anak darah daging papah. Itu semua bohong, papah bilang kayak gitu cuma mau bikin aku bahagia, kan? Iya, kan, pah!”

“Kemarin aku ke kantor papah, tapi papah nggak ada disana. Papah bilang sama aku kalo papah ada meeting sama klien, tapi ternyata papah ke apartemen tante Alexa, kan?”

“Papah bilang papah gak kenal sama tante Alexa dan sekarang.. she is your wife. You've given me a lot of lies!” isak tangis Nara semakin kencang setelah mengucapkan kata-kata itu dengan nada marah.

Alexa menundukkan kepalanya dan menangis, ia sangat takut. Ia tidak menyangka akan secepat ini terbongkar. Alexa benar-benar membuat kesalahan yang fatal pada Nara.

Nara menarik napasnya dengan perlahan agar ia bisa kembali tenang.

“Papah seneng kamu lahir ke dunia.”

“Kamu akan selamanya jadi anak papah, papah akan selalu jagain kamu.”

“Papah sayang banget sama kamu, i love you more than anything. You're my daughter, forever. Jangan sakit, ya, papah janji bakal bikin kamu sehat lagi. Bertahan untuk papah.”

“Papah selalu ucapin kata-kata itu, cuma bikin aku bahagia, kan? Supaya aku ngerasain kasih sayang orangtua, kan, pah? Why did you adopt me when it was all a lie? Just leave me alone!”

“Don't adopt me if you give me loss. I don't want to feel pity, just leave me alone,” Nara menangis terduduk ketika mengucapkan kata-kata itu, amarahnya sudah tidak bisa dibendung lagi. Hatinya terlalu sakit, keluarganya sendiri yang menyebabkan ini.

“Ra, jangan seperti ini. Ini nggak seperti yang kamu maksud, papah akan jelaskan semuanya, ya, don't be like this,” Jaehyun menuntut Nara untuk bangun dari duduknya namun ditepis oleh Nara—ia bisa bangun sendiri tanpa bantuan Jaehyun.

Nara berbalik ke arah ketiga kakaknya yang hanya menundukkan kepalanya dengan posisi berdiri—merasa bersalah. Seharusnya mereka lebih dulu memberitahu Nara tentang semuanya dan ini tidak akan pernah terjadi.

“Kalian udah tau juga, kan? Kalian tau semua tentang ini, kan? Kenapa kalian ikut menyembunyikan ini semua?” Tak ada jawaban dari ketiga kakaknya, mereka masih diam.

“Kak Mark, kak Jeno, Sungchan! Jawab aku!”

“Arghh!” Nara berteriak frustasi sembari memegangi kepalanya. Mengapa semua ini harus terjadi pada dirinya?

Jaehyun mengusap wajahnya frustasi, mengapa semua rencananya menjadi berantakan seperti ini? Ia tidak menduga bahwa akan terjadi secepatnya ini.

Nara mengatur napasnya kembali, ia mengelap air matanya yang sudah banjir menyusuri pipinya. Ia berjalan mendekati Alexa yang tidak mau menatap Nara karena terlalu malu, merasa bersalah akan semua ini. Nara meraih tangan Alexa dan menggenggamnya sebelum kembali berbicara.

“Tante, maafin Nara. Maaf karena Nara tante gak bisa ketemu sama anak-anak tante. Karena Nara, tante gak bisa kumpul bareng sama keluarga tante, i'm so sorry.”

“Maaf Nara udah ambil kebahagiaan tante, maaf Nara udah ambil papah dan anak-anak kandung tante. Maafin Nara karena Nara udah buat tante tinggal di apartemen sendirian dan biarin aku enak-enak tinggal di rumah papah. Maaf,” ucapan Nara membuat tangis Alexa pecah, ini bukan salah Nara. Anak ini tidak salah sekalipun.

“Abis ini tante boleh tinggal di rumah papah, aku gak akan ganggu kebahagiaan tante lagi. Tante bisa kumpul lagi sama papah, kak Mark, kak Jeno dan Sungchan,” perkataan Nara seolah-olah membuat keputusan bahwa ia akan pergi dari keluarga Jung. Ya, benar itu akan lebih baik untuk Nara.

Ia hanya butuh penenangan dan akan pergi dari keluarga Jung sampai batas waktu yang tidak tentukan. Atau mungkin tidak akan pernah kembali lagi. Ini adalah jalan yang terbaik untuk Nara.

“Apa maksud kamu Nara? Kamu mau pergi dari sini? Tidak bisa, papah tidak mengizinkan kamu,” ucap Jaehyun.

“No Nara, jangan pergi, ya, kamu tidak salah. Tante yang salah, kamu tidak pernah sedikit pun menganggu kebahagiaan tante. Jangan pergi, ya, kita tinggal sama-sama disini,” ucap Alexa dengan terisak.

“Aku harus pergi.”

Mark, Jeno dan Sungchan terkejut mendengar penuturan Nara bahwa ia akan pergi dari rumah, meninggalkan keluarga Jung. Seperti mimpi buruk yang datang, mereka tidak ingin Nara pergi. Ini adalah ketakutan terbesar mereka selama ini, mereka tidak percaya kalau ini benar-benar terjadi.

“Gak Nara! Kamu tidak boleh pergi, maafin papah atas semua ini. Papah tau ini salah papah, i'm so sorry. Papah akan jelasin semuanya sama kamu, tapi please jangan pergi dari sini, ya,” ucap Jaehyun yang terus memohon pada Jaehyun.

“I'm disappointed with papah, you keep lying to me. Semuanya udah jelas, pah, nggak perlu lagi papah jelasin. Untuk sementara waktu aku pergi dulu dari rumah, aku mau menenangkan pikiran aku. Maaf.”

Jaehyun memeluk tubuh Nara dengan erat, ia tidak siap untuk kehilangan anak perempuan satu-satunya hanya karena kesalahannya. Ia merasa seperti orangtua yang tidak berguna, ia benar-benar menyesali itu.

“Jangan pergi, sayang. Papah mohon sama kamu, maafin papah,” air mata Nara kembali menetes saat Jaehyun memeluknya dan mengucapkan kata-kata tersebut. Ini terlalu sakit untuknya, seorang ayah yang selama ini ia banggakan, ia sayangi mengecewakannya dengan cara berbohong padanya.

Nara selalu patuh dan tunduk lada Jaehyun, ia juga senang jika Jaehyun selalu perhatian dan memberikan kasih sayang yang lebih untuknya. Tapi ia tidak pernah menyangka bahwa Jaehyun setega ini—membuatnya terlihat bodoh dan merasa kosong.

Nara melepaskan pelukan Jaehyun lalu kembali berbicara, “makasih papah udah rawat aku dari kecil, makasih atas apa yang papah selalu kasih buat aku.”

“Makasih papah selalu turutin kemauan aku, papah selalu sayang sama aku, makasih papah selalu sabar dan melindungi aku sampai kapanpun.”

“Maafin Nara, ya, pah kalo Nara banyak salah sama papah. Maaf kalo Nara sering buat papah susah, maafin Nara kalo suka gak nurut sama papah.”

“I love you but.. why did you lie to me?” ucap Nara kembali terisak.

“I'm so sorry.”

Nara mengeluarkan barang-barang yang pernah dibelikan oleh Jaehyun untuknya seperti kunci mobil, 2 black card, dan handphone. Hanya itu yang ia pegang sekarang, selebihnya ada di rumah dan ia tidak akan ambil itu. Nara mengembalikan semua barang-barang yang pernah Jaehyun kasih untuknya.

“Aku kembaliin semua barang-barang yang papah kasih ke aku, sisanya ada di rumah. Dan untuk uang jajan yang selalu papah kasih ke aku, bakalan aku ganti secepatnya,” Jaehyun sudah tidak bisa berkata apapun lagi. Tidak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang, tidak tahu bagaimana caranya agar Nara tetap stay disini.

Nara mendekati Oma nya dan berlutut agar bisa menggenggam tangan Oma yang duduk di sofa. Air mata Oma sedari tadi terus turun mendengar percakapan Nara dan Jaehyun.

“Oma, i'm sorry. Aku gak jadi nginep malem ini, aku harus pergi.”

“Oma sehat selalu, ya, makan yang banyak, selalu minum vitamin. Kalo ada kesempatan waktu, ayo kita ketemu lagi. Tapi dengan keadaan yang sehat, ya, Oma,” Nara mengusap air mata Oma.

“Maafin Nara, ya, Oma kalo Nara ada salah. Nara sayang sama Oma,” ucap Nara lalu memeluk Oma dengan erat.

“Jangan pergi, sayang, temenin Oma disini.”

“Nara harus pergi dulu Oma, maaf.”

Nara melepaskan pelukannya lalu mulai berjalan ke arah pintu rumah, ia tidak mau melihat Jaehyun atau bahkan ketiga kakaknya karena itu membuatnya sakit. Mereka yang menimbulkan kekecewaan dalam dirinya.

Baru dua langkah Nara berjalan, tangannya ditarik oleh Sungchan dan membawa Nara ke pelukannya, diikuti oleh Mark dan Jeno yang memeluk Sungchan dan Nara.

Nara bisa mendengar isak tangis mereka walau tidak kencang. Mereka benar-benar tidak menginginkan Nara pergi.

“Jangan pergi, Ra, tolong. Tetap disini sama gue. Gue janji gak bakal pinjem laptop lo lagi,” -Sungchan.

“Gue mohon sama lo, Ra, jangan pergi. Maafin gue, Ra.” -Jeno.

“Stay with us, Ra. Aku nggak tau gimana jadinya kalo kamu pergi dari rumah. Tolong jangan pergi, maafin aku.” -Mark.

Nara melepaskan pelukan mereka dan meraih tangan mereka masing-masing.

“Kak Mark, maafin Nara, ya. Makasih juga karena kak Mark selalu nurutin apa yang aku mau, tapi Nara harus tetap pergi.”

“Sungchan, semangat ujian nasionalnya, semoga ke terima di kampus favorit lo. Buat laptopnya, pake aja gapapa, itu punya lo. Maaf kalo gue salah sama lo.”

“Kak Jeno, maafin Nara. Nara sering manggil Jeno gak pake 'kak', maafin Nara kalo Nara sering ucapin kata kasar ke Jeno. Semangat kuliahnya, ya, kak.”

“Nara pergi, kalo ada kesempatan waktu, nanti kita ketemu lagi, ya. Jangan sombong, ya, kak, kalo ketemu Nara.”

Nara tersenyum dan melepaskan genggaman tangannya lalu berjalan menuju pintu rumah Oma nya.

“Jung Nara, stop disana.”

Nara berhenti sebentar saat Jaehyun mengucapkan kata itu dengan nada yang terkesan marah dan dingin. Biasanya Jaehyun selalu mengucapkan itu dan Nara berhenti seraya ketakutan. Namun sekarang tidak, ia tidak bisa melakukan itu lagi. Ada rasa takut dalam dirinya namun rasa kecewanya kini lebih mendominasi.

Nara tetap meneruskan langkahnya tak mendengarkan ucapan Jaehyun.

“Kamu tidak mendengarkan papah?”

“Balik kesini, Jung Nara.”

“Jung Nara!”

Nara tidak menggubris Jaehyun sama sekali, ia tetap jalan keluar rumah dan menutup pintu besar itu. Ia tidak bisa mendengarkan Jaehyun kali ini, ia sangat kecewa dengan Jaehyun.

© jenxclury


Sampainya di rumah Nara bergegas masuk dengan air mata yang sudah sangat deras mengalir sedari tadi. Berbagai pertanyaan terus muncul dalam kepalanya, ia benar-benar tidak mengetahui apa yang terjadi. Mungkinkah Jaehyun menyembunyikan sesuatu darinya? Apa yang terjadi sebenarnya?

Kalau dipikir kembali, Nara kerap memperhatikan tingkah Jaehyun dan ketiga kakaknya aneh. Ia seringkali melihat seorang mirip Jaehyun sedang bersama wanita namun ia tidak mengenali wanita tersebut. Ia juga menemukan foto Alexa dengan seorang pria mirip dengan Jaehyun saat ia berkunjung ke apartemen Alexa. Namun Alexa membantah bahwa itu bukan Jaehyun, ia tidak mengenali Jaehyun. Mark juga mencoba meyakinkan Nara saat itu dan untuk tidak bertanya apapun kepada Alexa lagi, karena itu terlihat tidak sopan. Tidak lama dari itu, ia mengikuti Jaehyun sampai apartemen miliknya dan melihat Jaehyun menemui Alexa. Nara sudah menduga bahwa Jaehyun dan Alexa memiliki hubungan khusus.

Ketiga kakaknya selalu bertingkah aneh, seperti sedang menyembunyikan sesuatu darinya. Nara mengira mereka tahu tentang semua yang Nara sendiri tidak ketahui. Kalau benar ketiga kakaknya mengetahui sesuatu, mengapa tidak memberi tahu dirinya? Sengaja kah mereka menyembunyikan ini semua?

Nara mengelap air matanya dan kembali memenangkan pikirannya, karena sedari tadi ia sudah berpikir yang negatif—akal sehatnya sudah hilang dan digantikan dengan emosi yang mengontrol dirinya.

Saat itu juga Nara teringat akan sesuatu, tentang surat yang ia temukan di laci meja kerja Jaehyun. Surat adopsi panti asuhan. Ia masih bertanya-tanya mengapa Jaehyun memiliki surat tersebut. Kalau memang benar Jaehyun mengadopsi seorang anak, dimana anak adopsi itu sekarang? Kenapa tidak tinggal bersama mereka?

Nara bergegas menuju ruang kerja Jaehyun, dirinya aman sekarang karena tidak ada siapapun di rumah. Ia membuka pintu ruang kerja Jaehyun dengan tergesa dan segera menghampiri laci meja kerja itu lalu membukanya. Tangan Nara bergerak cepat mencari lembaran kertas tersebut. Ia ingat betul bahwa kertas itu ada di laci meja kerja Jaehyun. Apa Jaehyun sudah memindahkannya? Tidak mungkin.

Gerak tangan Nara semakin cepat untuk mencari lembaran kertas tersebut, tidak memperdulikan lembaran kertas kerja Jaehyun yang berantakan, ia sangat tidak memikirkan itu sama sekali. Ia terus mencari sampai akhirnya.. ketemu!

Nara membuka lipatan kertas tersebut dan mulai membaca isi surat itu. Terpampang jelas tulisan surat perizinan adopsi anak dengan font sans serif yang di bold hitam membuat mata Nara terasa perih ditambah dengan Jaehyun selaku suami menandatangani perjanjian tersebut. Air matanya mengalir dengan deras ketika melihat nama dirinya tertera dalam surat itu.

Hati Nara terasa hancur berkeping-keping, tak bisa menerima bahwa dirinya bukan anak kandung Jaehyun, bukan darah daging Jaehyun. Kenapa Jaehyun menyembunyikan ini semua? Kenapa? Ia meremas kertas tersebut dengan tangisan yang mulai menggema di ruangan kerja Jaehyun.

“Kenapa ini semua harus terjadi? Kenapa?!” ucap Nara dengan isak tangis.

Ia sangat kecewa karena Jaehyun sudah menyembunyikan ini semua darinya selama bertahun-tahun. Nara merasa seperti orang bodoh disini, merasa bersalah dan menganggap dirinya tidak tahu diri. Nara belum mengetahui apa maksud Jaehyun menyembunyikan ini semua, ia bahkan tidak ingin tahu. Yang pasti ia kecewa dan merasa marah pada Jaehyun. Hatinya sangat hancur, keluarga yang selama ini ia anggap seperti hidupnya, seperti rumah yang nyaman untuk ia tempati, seperti mendapat kebahagiaan dalam hidup ternyata tidak pernah utuh menjadi keluarga sebenernya. Nara hanya meminjam kebahagian orang lain untuk kebahagiaannya, entah sudah berapa banyak kesalahan yang ia lakukan hanya untuk kebahagiaannya. Nara menyesal, ia merutuki dirinya sendiri walau ia tak sepenuhnya salah disini.

Ia mengelap air matanya, dadanya masih terasa sesak—mencoba untuk menahan kesedihan dalam hatinya. Ia mencoba untuk kuat dan bangkit dari sana, dengan membawa surat adopsi tersebut. Nara akan menemui ibu panti dan minta penjelasan dari apa yang telah terjadi saat ini.


Nara duduk di sofa panjang yang ada di ruang tamu. Ya, Nara sudah sampai di panti asuhan, ia sedang menunggu ibu panti menemui dirinya. Nara harus mendapatkan informasinya sekarang, ia sangat butuh penjelasan untuk semua ini.

“Maaf, ya, Nara. Kelamaan, ya, nunggu ibu?” tanya Ibu panti menghampiri Nara dan duduk disampingnya.

“Nggak, kok, Bu,” Nara tersenyum tipis.

“Ada yang bisa ibu bantu, Nak?”

Nara terdiam sebentar sebelum membuka tasnya dan mengeluarkan surat perizinan adopsi anak tersebut.

“Ibu bisa jelasin, apa maksud dari semua ini?” ucap Nara memberikan surat itu kepada Ibu panti.

Ibu itu terkejut bukan main lantaran belum pernah ada yang memberitahu Nara tentang ini. Jaehyun yang bilang agar tidak memberitahukan tentang ini ke siapapun. Ibu panti hanya bisa terdiam kaku sekarang, tidak tahu harus apa.

“Saya yakin ibu pasti tau tentang ini. Ibu berkerjasama dengan papah, kan, untuk menyembunyikan ini semua? Atas dasar apa, Bu?” ucap Nara dengan nada yang sedikit tinggi. Amarah kini kembali mendominasi dirinya.

“S-saya tidak mengerti apa maksud, dek Nara,” ucap Ibu panti masih mengelak.

“Jangan bohong, Bu. Saya udah tau semuanya, lebih baik ibu menjelaskan tentang surat ini. Apa benar aku anak yang diadopsi papah?” tanya Nara. Ia berusaha sekuat mungkin untuk tidak menangis, dadanya terasa sesak ketika menahan air mata yang ingin keluar.

Ibu panti kembali diam, ia tidak tahu harus berbicara apa karena Jaehyun memintanya untuk merahasiakan ini semua dari Nara. Jika ia mengaku, Jaehyun akan marah besar pada nya. Apa yang ia harus lakukan?

“Jawab aku, Bu!” Nara sedikit berteriak.

“B-baik.. Saya akan jelaskan. Benar bahwa Pak Jaehyun mengadopsi kamu dari panti asuhan ini,” ucap Ibu panti membuat air mata Nara berhasil lolos menyusuri pipinya.

“Kamu diadopsi sekitar 17 tahun yang lalu, yaitu Pak Jaehyun yang pertama kali mengadopsi kamu,” lanjut Ibu panti.

“Awalnya, ibu menemukan kamu di depan teras panti asuhan ini. Entah siapa yang taruh, tidak ada siapapun disana. Tidak ada pesan juga mengenai keterangan kamu. Ibu membawa kamu masuk kedalam rumah dan merawatnya.”

“Menjelang kamu umur 10 bulan, Pak Jaehyun datang ke panti asuhan ini untuk menjadi donatur dan berkenalan dengan anak-anak lainnya. Tapi, ketika Pak Jaehyun melihat kamu yang masih berumur 10 bulan, entah mengapa ia ingin mengadopsi kamu. Ibu tidak tau alasan jelasnya seperti apa, lalu ibu menyetujui itu. Karena diusia kamu yang begitu kecil, ibu tidak bisa mengurus kamu sendiri. Banyak anak lain yang harus ibu rawat, ibu membutuhkan orang lain saat itu dan Pak Jaehyun bersedia untuk merawat kamu sepenuh hati. Saat itu kami membuat surat perjanjian itu,” jelas Ibu panti. Entah berapa banyak air mata Nara yang turun saat Ibu panti menjelaskan itu.

“Maaf karena ibu menyembunyikan ini dari kamu. Pak Jaehyun yang meminta ibu untuk merahasiakan ini semua,” ucap Ibu panti.

Nara mengelap air matanya, ia kembali menenangkan dirinya. Benar ternyata, Jaehyun memang sengaja untuk tidak memberitahu Nara. Ia masih tidak percaya bahwa ada orang yang menaruhnya di panti asuhan, apakah itu orangtua kandungnya?

“Baik, makasih atas informasinya, Bu. Makasih juga.. karena ibu sudah merawat saya. Maaf kalau kehadiran saya kurang sopan, makasih sekali lagi, Bu.”

“Tidak, Nara. Harusnya ibu yang meminta maaf karena sudah merahasiakan ini dari kamu. Ibu minta maaf,” ucap Ibu panti.

Nara tersenyum tipis sebelum kembali berbicara, “saya permisi dulu, Bu.”

Nara pergi dari sana dan berniat untuk kembali ke rumah Oma. Ia akan meminta Jaehyun, ketiga kakaknya dan Alexa untuk datang. Agar semua ini bisa terjelaskan.

© jenxclury


Sampainya di rumah Nara bergegas masuk dengan air mata yang sudah sangat deras mengalir sedari tadi. Berbagai pertanyaan terus muncul dalam kepalanya, ia benar-benar tidak mengetahui apa yang terjadi. Mungkinkah Jaehyun menyembunyikan sesuatu darinya? Apa yang terjadi sebenarnya?

Kalau dipikir kembali, Nara kerap memperhatikan tingkah Jaehyun dan ketiga kakaknya aneh. Ia seringkali melihat seorang mirip Jaehyun sedang bersama wanita namun ia tidak mengenali wanita tersebut. Ia juga menemukan foto Alexa dengan seorang pria mirip dengan Jaehyun saat ia berkunjung ke apartemen Alexa. Namun Alexa membantah bahwa itu bukan Jaehyun, ia tidak mengenali Jaehyun. Mark juga mencoba meyakinkan Nara saat itu dan untuk tidak bertanya apapun kepada Alexa lagi, karena itu terlihat tidak sopan. Tidak lama dari itu, ia mengikuti Jaehyun sampai apartemen miliknya dan melihat Jaehyun menemui Alexa. Nara sudah menduga bahwa Jaehyun dan Alexa memiliki hubungan khusus.

Ketiga kakaknya selalu bertingkah aneh, seperti sedang menyembunyikan sesuatu darinya. Nara mengira mereka tahu tentang semua yang Nara sendiri tidak ketahui. Kalau benar ketiga kakaknya mengetahui sesuatu, mengapa tidak memberi tahu dirinya? Sengaja kah mereka menyembunyikan ini semua?

Nara mengelap air matanya dan kembali memenangkan pikirannya, karena sedari tadi ia sudah berpikir yang negatif—akal sehatnya sudah hilang dan digantikan dengan emosi yang mengontrol dirinya.

Saat itu juga Nara teringat akan sesuatu, tentang surat yang ia temukan di laci meja kerja Jaehyun. Surat adopsi panti asuhan. Ia masih bertanya-tanya mengapa Jaehyun memiliki surat tersebut. Kalau memang benar Jaehyun mengadopsi seorang anak, dimana anak adopsi itu sekarang? Kenapa tidak tinggal bersama mereka?

Nara bergegas menuju ruang kerja Jaehyun, dirinya aman sekarang karena tidak ada siapapun di rumah. Ia membuka pintu ruang kerja Jaehyun dengan tergesa dan segera menghampiri laci meja kerja itu lalu membukanya. Tangan Nara bergerak cepat mencari lembaran kertas tersebut. Ia ingat betul bahwa kertas itu ada di laci meja kerja Jaehyun. Apa Jaehyun sudah memindahkannya? Tidak mungkin.

Gerak tangan Nara semakin cepat untuk mencari lembaran kertas tersebut, tidak memperdulikan lembaran kertas kerja Jaehyun yang berantakan, ia sangat tidak memikirkan itu sama sekali. Ia terus mencari sampai akhirnya.. ketemu!

Nara membuka lipatan kertas tersebut dan mulai membaca isi surat itu. Terpampang jelas tulisan surat perizinan adopsi anak dengan font sans serif yang di bold hitam membuat mata Nara terasa perih ditambah dengan Jaehyun selaku suami menandatangani perjanjian tersebut. Air matanya mengalir dengan deras ketika melihat nama dirinya tertera dalam surat itu.

Hati Nara terasa hancur berkeping-keping, tak bisa menerima bahwa dirinya bukan anak kandung Jaehyun, bukan darah daging Jaehyun. Kenapa Jaehyun menyembunyikan ini semua? Kenapa? Ia meremas kertas tersebut dengan tangisan yang mulai menggema di ruangan kerja Jaehyun.

“Kenapa ini semua harus terjadi? Kenapa?!” ucap Nara dengan isak tangis.

Ia sangat kecewa karena Jaehyun sudah menyembunyikan ini semua darinya selama bertahun-tahun. Nara merasa seperti orang bodoh disini, merasa bersalah dan menganggap dirinya tidak tahu diri. Nara belum mengetahui apa maksud Jaehyun menyembunyikan ini semua, ia bahkan tidak ingin tahu. Yang pasti ia kecewa dan merasa marah pada Jaehyun. Hatinya sangat hancur, keluarga yang selama ini ia anggap seperti hidupnya, seperti rumah yang nyaman untuk ia tempati, seperti mendapat kebahagiaan dalam hidup ternyata tidak pernah utuh menjadi keluarga sebenernya. Nara hanya meminjam kebahagian orang lain untuk kebahagiaannya, entah sudah berapa banyak kesalahan yang ia lakukan hanya untuk kebahagiaannya. Nara menyesal, ia merutuki dirinya sendiri walau ia tak sepenuhnya salah disini.

Ia mengelap air matanya, dadanya masih terasa sesak—mencoba untuk menahan kesedihan dalam hatinya. Ia mencoba untuk kuat dan bangkit dari sana, dengan membawa surat adopsi tersebut. Nara akan menemui ibu panti dan minta penjelasan dari apa yang telah terjadi saat ini.


Nara duduk di sofa panjang yang ada di ruang tamu. Ya, Nara sudah sampai di panti asuhan, ia sedang menunggu ibu panti menemui dirinya. Nara harus mendapatkan informasinya sekarang, ia sangat butuh penjelasan untuk semua ini.

“Maaf, ya, Nara. Kelamaan, ya, nunggu ibu?” tanya Ibu panti menghampiri Nara dan duduk disampingnya.

“Nggak, kok, Bu,” Nara tersenyum tipis.

“Ada yang bisa ibu bantu, Nak?”

Nara terdiam sebentar sebelum membuka tasnya dan mengeluarkan surat perizinan adopsi anak tersebut.

“Ibu bisa jelasin, apa maksud dari semua ini?” ucap Nara memberikan surat itu kepada Ibu panti.

Ibu itu terkejut bukan main lantaran belum pernah ada yang memberitahu Nara tentang ini. Jaehyun yang bilang agar tidak memberitahukan tentang ini ke siapapun. Ibu panti hanya bisa terdiam kaku sekarang, tidak tahu harus apa.

“Saya yakin ibu pasti tau tentang ini. Ibu berkerjasama dengan papah, kan, untuk menyembunyikan ini semua? Atas dasar apa, Bu?” ucap Nara dengan nada yang sedikit tinggi. Amarah kini kembali mendominasi dirinya.

“S-saya tidak mengerti apa maksud, dek Nara,” ucap Ibu panti masih mengelak.

“Jangan bohong, Bu. Saya udah tau semuanya, lebih baik ibu menjelaskan tentang surat ini. Apa benar aku anak yang diadopsi papah?” tanya Nara. Ia berusaha sekuat mungkin untuk tidak menangis, dadanya terasa sesak ketika menahan air mata yang ingin keluar.

Ibu panti kembali diam, ia tidak tahu harus berbicara apa karena Jaehyun memintanya untuk merahasiakan ini semua dari Nara. Jika ia mengaku, Jaehyun akan marah besar pada nya. Apa yang ia harus lakukan?

“Jawab aku, Bu!” Nara sedikit berteriak.

“B-baik.. Saya akan jelaskan. Benar bahwa Pak Jaehyun mengadopsi kamu dari panti asuhan ini,” ucap Ibu panti membuat air mata Nara berhasil lolos menyusuri pipinya.

“Kamu diadopsi sekitar 17 tahun yang lalu, yaitu Pak Jaehyun yang pertama kali mengadopsi kamu,” lanjut Ibu panti.

“Awalnya, ibu menemukan kamu di depan teras panti asuhan ini. Entah siapa yang taruh, tidak ada siapapun disana. Tidak ada pesan juga mengenai keterangan kamu. Ibu membawa kamu masuk kedalam rumah dan merawatnya.”

“Menjelang kamu umur 10 bulan, Pak Jaehyun datang ke panti asuhan ini untuk menjadi donatur dan berkenalan dengan anak-anak lainnya. Tapi, ketika Pak Jaehyun melihat kamu yang masih berumur 10 bulan, entah mengapa ia ingin mengadopsi kamu. Ibu tidak tau alasan jelasnya seperti apa, lalu ibu menyetujui itu. Karena diusia kamu yang begitu kecil, ibu tidak bisa mengurus kamu sendiri. Banyak anak lain yang harus ibu rawat, ibu membutuhkan orang lain saat itu dan Pak Jaehyun bersedia untuk merawat kamu sepenuh hati. Saat itu kami membuat surat perjanjian itu,” jelas Ibu panti. Entah berapa banyak air mata Nara yang turun saat Ibu panti menjelaskan itu.

“Maaf karena ibu menyembunyikan ini dari kamu. Pak Jaehyun yang meminta ibu untuk merahasiakan ini semua,” ucap Ibu panti.

Nara mengelap air matanya, ia kembali menenangkan dirinya. Benar ternyata, Jaehyun memang sengaja untuk tidak memberitahu Nara. Ia masih tidak percaya bahwa ada orang yang menaruhnya di panti asuhan, apakah itu orangtua kandungnya?

“Baik, makasih atas informasinya, Bu. Makasih juga.. karena ibu sudah merawat saya. Maaf kalau kehadiran saya kurang sopan, makasih sekali lagi, Bu.”

“Tidak, Nara. Harusnya ibu yang meminta maaf karena sudah merahasiakan ini dari kamu. Ibu minta maaf,” ucap Ibu panti.

Nara tersenyum tipis sebelum kembali berbicara, “saya permisi dulu, Bu.”

Nara pergi dari sana dan berniat untuk kembali ke rumah Oma. Ia akan meminta Jaehyun, ketiga kakaknya dan Alexa untuk datang. Agar semua ini bisa terjelaskan.

© jenxclury


Nara kembali ke rumah oma dengan wajah yang sangat lesu, matanya bengkak akibat menangis terlalu banyak. Ini sangat menyakitkan untuknya, semua kenyataan yang selama ini disimpan baik-baik oleh papah dan ke 3 kakaknya telah terbongkar hasil tangan Nara sendiri.

Nara menghela napas panjang lalu mengusap air matanya, disini—menjadi tempat kejujuran keluarga Jung terbuka. Tidak bisa ditahan lagi olehnya, Nara sangat kecewa dengan semua anggota keluarganya. Ia merasa sangat tidak berguna dan merasa bersalah akan semua ini.

Nara membuka pintu besar tersebut dengan wajah yang kembali ceria, agar oma tidak curiga. Ia tersenyum ketika melihat oma yang sedang duduk asik menonton TV. Nara menghampiri omanya lalu ikut duduk disampingnya.

“Kamu kenapa lama sekali?” tanya Oma.

“Maaf, Oma. Tadi jalanannya lumayan macet,” alasan Nara. Ia memang disuruh oma nya untuk membeli sesuatu di supermarket. Namun ia mampir ke panti asuhan untuk mengetahuinya semua apa yang terjadi selama bertahun-tahun.

Nara mengeluarkan barang belanjaannya lalu ia taruh di dapur, dengan cepat ia menutup kembali tasnya agar semua bukti yang ia dapatkan hari ini tidak diketahui oleh Oma.

Nara mencoba untuk menahan amarahnya, rasa ingin menangis. Ia berusaha untuk tetap tenang dan berhati-hati untuk bicara nanti.

Cekl

Nara dan Oma melihat ke arah pintu terbuka, itu Jeno dan Sungchan dengan tas dipundak mereka masing-masing. Memang Nara yang menyuruh mereka untuk langsung ke rumah Oma.

Jeno dan Sungchan berjalan mendekati Oma lalu memberi salam padanya.

“Kalian kenapa kesini? Papah kalian gak nyariin?” tanya Oma.

“Papah juga nanti kesini, kok, Oma. Nara yang suruh kita dateng kesini,” jelas Sungchan.

Dengan cepat Nara memberi penjelasan agar Oma tidak salah paham.

“Iya, Oma, aku yang suruh. Gapapa, kan, Oma?”

“Loh, iya gapapa, Oma seneng kok bisa ketemu sama cucu-cucu Oma,” Oma tersenyum lebar saat mengatakan itu, begitupun dengan Sungchan dan Jeno.

Tak lama mereka berbincang, Jaehyun dan Mark datang lalu memberi salam pada Oma. Nara menelan ludahnya, ia menarik napasnya agar lebih terlihat tenang.

“Ra, mau bicara apa?” tanya Jaehyun.

Nara terdiam sebentar, lalu menjawab pertanyaan Jaehyun.

“Tunggu sebentar, ya, pah. Aku masih nunggu satu orang lagi,” ucap Nara yang membuat semuanya terheran.

“Siapa?”

Cekl

Nara tersenyum ketika melihat pintu rumah kembali terbuka namun tidak dengan yang lain, semuanya nampak terkejut melihat siapa yang datang.

Alexa.

Alexa ikut terdiam saat melihat ada siapa disana. Mengapa semuanya ada disini? Ada apa ini?

Nara mendekat ke arah Alexa dan menuntun nya agar mendekat sedikit dari tempat ia berdiri.

“Nah, sekarang keluarga Jung udah lengkap semua,” ucap Nara tersenyum.

Jaehyun sangat tidak percaya apa yang ia lihat sekarang, apa maksudnya semua ini? Keluarga Jung? Apakah ini semua rencana Nara?

“Kok pada diem, sih? Nggak usah canggung gitu, i already know everything.”

Deg

'Nara tau semuanya? Gimana bisa?' batin Jaehyun.

'Apa? Ini kenyataan?' batin Alexa.

'Sekarang.. waktunya?' batin Mark.

“Kenapa? Kalian terkejut? Aku juga. I can't believe.. bertahun-tahun dibohongi sama yang katanya keluarga. Kalian bersenang-senang?” Nara sedikit mulai sedikit kehilangan kontrol dirinya.

Nara memperlihatkan semua bukti yang ia dapat, mulai dari grup chat The Jungs tanpa Nara hingga surat adopsi dari panti asuhan.

Jaehyun tidak percaya bahwa Nara memiliki bukti sebanyak ini. Nara melangkahi dirinya terlebih dahulu.

“Kasih aku satu alasan kalo semua bukti itu bohong.”

Semua diam. Sepeti bisu.

Nara tertawa kecil, “wah, ternyata bener, ya.”

“Ra, papah bisa jelasin semuanya. Kamu udah salah paham, Ra,” bantah Jaehyun.

“Waktu papah udah abis, nggak ada lagi penjelasan,” mata Nara mulai berkaca-kaca, air mata akan jatuh menyusuri pipi Nara sebentar lagi.

Nara mengambil surat adopsi tersebut lalu berjalan mendekat ke arah Jaehyun p


Nara kembali ke rumah oma dengan wajah yang sangat lesu, matanya bengkak akibat menangis terlalu banyak. Ini sangat menyakitkan untuknya, semua kenyataan yang selama ini disimpan baik-baik oleh papah dan ke 3 kakaknya telah terbongkar hasil tangan Nara sendiri.

Nara menghela napas panjang lalu mengusap air matanya, disini—menjadi tempat kejujuran keluarga Jung terbuka. Tidak bisa ditahan lagi olehnya, Nara sangat kecewa dengan semua anggota keluarganya. Ia merasa sangat tidak berguna dan merasa bersalah akan semua ini.

Nara membuka pintu besar tersebut dengan wajah yang kembali ceria, agar oma tidak curiga. Ia tersenyum ketika melihat oma yang sedang duduk asik menonton TV. Nara menghampiri omanya lalu ikut duduk disampingnya.

“Kamu kenapa lama sekali?” tanya Oma.

“Maaf, Oma. Tadi jalanannya lumayan macet,” alasan Nara. Ia memang disuruh oma nya untuk membeli sesuatu di supermarket. Namun ia mampir ke panti asuhan untuk mengetahuinya semua apa yang terjadi selama bertahun-tahun.

Nara mengeluarkan barang belanjaannya lalu ia taruh di dapur, dengan cepat ia menutup kembali tasnya agar semua bukti yang ia dapatkan hari ini tidak diketahui oleh Oma.

Nara mencoba untuk menahan amarahnya, rasa ingin menangis. Ia berusaha untuk tetap tenang dan berhati-hati untuk bicara nanti.

Cekl

Nara dan Oma melihat ke arah pintu terbuka, itu Jeno dan Sungchan dengan tas dipundak mereka masing-masing. Memang Nara yang menyuruh mereka untuk langsung ke rumah Oma.

Jeno dan Sungchan berjalan mendekati Oma lalu memberi salam padanya.

“Kalian kenapa kesini? Papah kalian gak nyariin?” tanya Oma.

“Papah juga nanti kesini, kok, Oma. Nara yang suruh kita dateng kesini,” jelas Sungchan.

Dengan cepat Nara memberi penjelasan agar Oma tidak salah paham.

“Iya, Oma, aku yang suruh. Gapapa, kan, Oma?”

“Loh, iya gapapa, Oma seneng kok bisa ketemu sama cucu-cucu Oma,” Oma tersenyum lebar saat mengatakan itu, begitupun dengan Sungchan dan Jeno.

Tak lama mereka berbincang, Jaehyun dan Mark datang lalu memberi salam pada Oma. Nara menelan ludahnya, ia menarik napasnya agar lebih terlihat tenang.

“Ra, mau bicara apa?” tanya Jaehyun.

Nara terdiam sebentar, lalu menjawab pertanyaan Jaehyun.

“Tunggu sebentar, ya, pah. Aku masih nunggu satu orang lagi,” ucap Nara yang membuat semuanya terheran.

“Siapa?”

Cekl

Nara tersenyum ketika melihat pintu rumah kembali terbuka namun tidak dengan yang lain, semuanya nampak terkejut melihat siapa yang datang.

Alexa.

Alexa ikut terdiam saat melihat ada siapa disana. Mengapa semuanya ada disini? Ada apa ini?

Nara mendekat ke arah Alexa dan menuntun nya agar mendekat sedikit dari tempat ia berdiri.

“Nah, sekarang keluarga Jung udah lengkap semua,” ucap Nara tersenyum.

Jaehyun sangat tidak percaya apa yang ia lihat sekarang, apa maksudnya semua ini? Keluarga Jung? Apakah ini semua rencana Nara?

“Kok pada diem, sih? Nggak usah canggung gitu, i already know everything.”

Deg

'Nara tau semuanya? Gimana bisa?' batin Jaehyun.

'Apa? Ini kenyataan?' batin Alexa.

'Sekarang.. waktunya?' batin Mark.

“Kenapa? Kalian terkejut? Aku juga. I can't believe.. bertahun-tahun dibohongi sama yang katanya keluarga. Kalian bersenang-senang?” Nara sedikit mulai sedikit kehilangan kontrol dirinya.

Nara memperlihatkan semua bukti yang ia dapat, mulai dari grup chat The Jungs tanpa Nara hingga surat adopsi dari panti asuhan.

Jaehyun tidak percaya bahwa Nara memiliki bukti sebanyak ini. Nara melangkahi dirinya terlebih dahulu.

“Kasih aku satu alasan kalo semua bukti itu bohong.”

Semua diam. Sepeti bisu.

Nara tertawa kecil, “wah, ternyata bener, ya.”

“Ra, papah bisa jelasin semuanya. Kamu udah salah paham, Ra,” bantah Jaehyun.

“Waktu papah udah abis, nggak ada lagi penjelasan,” mata Nara mulai berkaca-kaca, air mata akan jatuh menyusuri pipi Nara sebentar lagi.

Nara mengambil surat adopsi tersebut lalu berjalan mendekat ke arah Jaehyun p