jenxclury


Mobil Jaehyun sudah terparkir diperkarangan rumah milik Jung. Ya, Jaehyun membawa Nara kembali ke rumah, ia tidak ingin Nara pulang ke kostan nya. Itu bisa saja tidak aman walau Agra sudah berada di sel. Alexa membantu Nara turun dari mobil dan masuk ke dalam rumah. Dugaan Alexa terhadap Nara ternyata salah, Nara senang jika Alexa berada disampingnya. Bahkan Nara sangat membutuhkan Alexa sekarang, walau mereka masing-masing masih terasa canggung.

Nara melangkahkan kakinya memasuki rumah dengan melihat sekelilingnya, tidak banyak berubah. Hanya beberapa hiasan rumah yang mungkin diganti oleh Jaehyun. Alexa mengantarkan Nara sampai ke kamar dan diikuti oleh Jaehyun, saat membuka pintu kamarnya, Nara sama sekali tidak melihat perbedaan. Semua masih sama seperti setahun lalu. Jaehyun maupun Alexa tidak pernah mengubah ataupun mengambil aksesoris yang ada di dalam kamar Nara.

Nara duduk di tepi kasur, mengelus selimut miliknya yang terasa halus dan lembut, tidak ada debu sedikitpun. Benar-benar dirawat dan selalu dibersihkan, Nara merasa ingin menangis sekarang.

“Semuanya masih sama, aku kira papah udah buang semua barang-barang aku,” Nara tersenyum kecil.

“No, ini kamar kamu, akan selamanya jadi kamar kamu. Papah gak ada hak untuk buang barang-barang kamu, disaat itu juga papah yakin kamu bakalan kembali ke rumah ini,” ucap Jaehyun.

“Dan, Alexa yang selalu bersihin kamar kamu, biar kamar kamu tetap bersih,” lanjut Jaehyun.

Nara menatap Alexa yang jaraknya tidak jauh darinya, Nara tersenyum begitupun dengan Alexa.

“Tante, apa boleh Nara ubah panggilannya jadi Mama? Itu juga kalo tante ijinin Nara buat panggil Mama,” Jaehyun tersenyum senang saat mendengar ucapan Nara.

Alexa sedikit terkejut mendengar ucapan Nara, matanya menatap dalam mata Nara. Ia masih tak percaya apa yang ia dengar, Nara akan memanggilnya Mama. Air matanya mengalir menyusuri pipinya, Alexa mendekat kearah Nara dan memeluknya dengan erat.

Nara membalas pelukan itu, tanpa disadari ia pun ikut menangis saat dipeluk oleh Alexa. Pelukannya begitu hangat dan nyaman, ia tidak ingin melepaskannya. Seperti dipeluk oleh seorang ibu, walau Nara belum pernah merasakannya namun ia sangat tahu rasa hangat dan nyaman yang diberikan.

“Tante senang jika dipanggil Mama sama kamu, senang sekali,” Alexa melepaskan pelukannya dan mengusap kepala Nara.

“Makasih, ya, Ma. Makasih karena selalu bersihin kamar aku, makasih udah mau nerima aku sebagai anak Mama. Makasih,”

“No, no need to say sorry. Kamu anak Mama sama Papah, Mama tidak pernah menganggap kamu anak angkat atau apapun itu. Kamu sama seperti Mark, Jeno, Sungchan. Kamu anak Mama, Ra,” lanjut Alexa. Jaehyun mengusap air matanya yang sedikit menetes, ia sangat bahagia melihat kehangatan ini. Akhirnya kebahagiaan ini yang Jaehyun tunggu, ia tidak menyangka akan seperti ini. Walau masih banyak yang ingin ia sampaikan dan menjelaskan semua kebenarannya.

“Hm.. Sorry kalau papah menganggu keharmonisan kalian but i have something to tell you. Papah mau menjelaskan tentang masalah ditahun lalu, apa kamu mau mendengarkan papah?” ucap Jaehyun kepada Nara.

Nata terdiam sebentar, hari ini, Jaehyun akan mengungkapkan semuanya, menjelaskan apa yang selama ini Jaehyun sembunyikan dari Nara. Sebenarnya Nara sudah tidak peduli dengan masalah itu, ia sudah tidak ingin mengungkit kejadian setahun lalu namun mau tidak mau Nara harus mendengarkan Jaehyun. Ada rasa sedikit ingin tahu dalam diri Nara.

Nara mengubah posisinya menjadi menghadap Jaehyun.

“Benar jika papah mengadopsi kamu dari panti asuhan dan kami berdua menandatangani perjanjian itu. Papah senang dapat bertemu kamu lagi setelah berbulan-bulan kamu menghilang di rumah sakit.”

“Saat papah bilang Mama kamu sudah meninggal, itu benar. Tapi bukan Alexa, melainkan Mama kandung kamu, Lidya namanya. Papah sama Lidya teman dekat, kita satu SMA dulu, disaat itu Lidya ingin melahirkan namun Agra tidak datang. Jadi, papah yang menemani dia.”

“Namun Tuhan punya kehendak lain, Lidya meninggal setelah melahirkan kamu dan dia menitipkan kamu pada papah untuk dijaga dan dirawat. Papah menyetujui itu, kami menyetujui untuk menjaga kamu, Ra.”

Nara hanya diam mendengarkan penjelasan Jaehyun, ia tidak akan menyelak pembicaraan Jaehyun karena ia ingin tahu lebih detail lagi agar semuanya dapat dimengerti dan Nara tidak lagi salah paham pada Jaehyun.

“Tapi disaat kamu masih perlu penanganan medis, suster menyatakan kamu hilang karena sudah tidak ada didalam box bayi waktu itu. Papah panik dan mencari kamu kemanapun, sampai akhirnya papah tau bahwa Agra yang membawa kamu ke panti asuhan.”

“Mungkin kamu terkejut saat papah dan Alexa saling kenal atau bahkan kamu mengetahui bahwa kami sepasang suami istri. Papah sama sekali gak ada niatan untuk menyembunyikan Alexa dari kamu tapi dulu saat kamu masih kecil, kamu selalu menanyakan mama dimana. Dan spontan papah jawab bahwa Alexa sudah meninggal, padahal Alexa sedang berada di luar negeri waktu itu menjaga ibunya yang sedang sakit.”

“Ini salah papah yang harus terpaksa berbohong sama kamu, papah gak tau harus gimana lagi. Kamu terus menanyakan soal itu pada papah yang dimana saat itu papah benar-benar tidak tau harus menjawab apa.”

Jaehyun menggenggam tangan Nara.

“Ra, kalo kamu pikir Agra adalah ayah yang baik, kamu salah, Ra. Dia menghamili Lidya sebelum menikah dan disaat kamu lahir dia juga gak mau nerima kamu. Agra selalu berbuat kasar pada Lidya dan itu turun ke kamu. Agra hanya ingin memanfaatkan kamu, Ra.”

“Bahkan Agra tidak pantas untuk disebut seorang Ayah.”

Jaehyun sudah menjelaskan semua yang sebenar-benarnya, Nara pun mencoba untuk mengerti penjelasan Jaehyun. Entah mengapa rasa sakit yang ia kubur dalam-dalam kini kembali terbuka, tentang dirinya yang benar diadopsi oleh Jaehyun, Agra tidak pernah menerima kehadirannya dan membuangnya ke panti asuhan sampai Lidya, ibu kandungnya juga mengalami kekerasan yang ia alami selama tinggal bersama Agra.

Hati Nara sangat hancur, dadanya terasa sesak, sebegitu menyedihkannya hidup Nara. Kenyataannya, sedari kecil memang hidupnya tidak seberuntung itu, ia dipertemukan oleh keluarga Jung adalah takdir atau bisa jadi hanya kebetulan. Nara semakin bersyukur bertemu dengan orang-orang yang sayang dengannya.

“Pah, aku mau tau wajah mama Lidya seperti apa, boleh aku liat? It's okay cuma dari foto,” ucap Nara.

Dengan cepat Jaehyun mengambil sebuah kotak kecil yang disimpan di bawah lemari baju Nara yang bahkan Nara sendiri tidak tahu ada kotak tersebut.

“Papah sudah lama menyimpan kotak ini di lemari kamu, mungkin tempatnya memang tersembunyi, kamu susah untuk menemukannya,” jelas Jaehyun lalu kembali duduk di samping Nara.

“Ini, foto Lidya waktu SMA dan pada saat acara reuni sekolah,” Jaehyun memberi dua lembar foto Lidya pada Nara.

Lidya adalah seorang wanita yang cantik, mempunyai senyum manis dan memiliki mata yang sangat mirip dengan Nara. Air mata Nara mengalir deras saat mengusap foto tersebut, ini pertama kalinya ia melihat ibu kandungnya sendiri. Walau hanya dari sebuah foto.

“Hanya itu yang papah simpan, papah memang sudah berniat untuk memberitahu kamu, dan ini waktu yang tepat.”

“Cantik. Mama Lidya cantik.”

Alexa mengelus pundak Nara agar Nara telihat tenang dan membawa kepelukannya.

“Maafin papah, ya, Ra, baru bilang sekarang. Papah hanya menunggu waktu yang tepat, tapi sayang saat itu kamu lebih dulu mengetahui semuanya dan papah yang membuat kamu pergi,” ucap Jaehyun dengan rasa penyesalannya.

“No, Nara yang seharusnya minta maaf karena gak mau dengerin penjelasan papah dan langsung pergi gitu aja. Maafin Nara, pah.”

“Makasih juga karena papah selalu jagain Nara, papah bener-bener sayang sama aku, papah sama sekali gak pernah ngebedain aku sama kakak aku. Makasih juga udah mau jadi papah aku sekaligus jadi mama disaat aku butuh pelukan seorang ibu.”

“Nara sayang sama papah, always and forever,” Nara memeluk Jaehyun dengan erat. Ia tidak bisa berkata-kata lagi karena isak tangisnya kini yang mendominasi.

Jaehyun membalas pelukan Nara, ia sudah banyak mengorbankan banyak hal untuk Nara, menemukan segala cara bagaimana membuat Nara bahagia, selalu menjadi kebanggan untuk Nara dan juga keluarganya. Jaehyun benar-benar seorang ayah yang baik, pengertian, penyayang dan juga tegas. Nara senang mempunyai ayah seperti Jaehyun, ia paling mengerti apa yang Nara rasakan. Hanya Jaehyun yang dapat mengerti.

Nara menyayangi Jaehyun tanpa syarat sama halnya dengan Jaehyun. Kini sudah tidak ada lagi kesalah pahaman, tidak ada lagi masalah yang masih menggantung, semua sudah jelas. Keluarga Jung sudah lengkap seperti dulu dengan adanya Alexa juga disini. Mereka dapat menjalani hidup mereka dengan damai dan tentram.

© jenxclury


“Pah, please, aku mau ketemu sama Oma, sebentar aja.”

Nara sedari tadi terus merengek pada Jaehyun ingin bertemu dengan Oma, namun Jaehyun terus melarang karena Nara sebentar lagi akan melaksanakan pemeriksaan kesehatan mentalnya. Nara dan Oma berada di rumah sakit yang sama, ruangan mereka hanya beda lantai. Keadaan Oma sudah semakin baik dari penyakit jantung yang diderita nya namun belum ada persetujuan dari dokter untuk merawat Oma di rumah.

“Nara, kamu masih ada pemeriksaan sebentar lagi. Nanti kalo udah selesai kamu boleh ketemu sama Oma, ya. Oma juga udah baik-baik aja, kok, ada Alexa juga yang jagain,” jelas Jaehyun.

Ah iya, Alexa selalu menemani Oma selama di rumah sakit. Saat tahu Nara ditempatkan di rumah sakit yang sama dengan Oma, perasaannya mulai tenang karena ia bisa bergantian dengan Jaehyun untuk melihat Nara. Namun, ia masih takut untuk bertemu Nara, takut kehadirannya tidak diinginkan oleh anak angkat perempuannya itu. Alexa lebih memilih untuk menghindar untuk sementara waktu sampai Nara mengizinkan dirinya untuk bertemu dengan Nara.

“Ayolah, Pah, sebentar aja. Dokternya juga belum dateng, aku kangen sama Oma,” Nara mengerucutkan bibirnya.

“I know but kesehatan kamu penting, Ra. Nanti kalo udah selesai pemeriksaannya kamu boleh ketemu sama Oma. Listen to me, okay?” ucap Jaehyun.

“Hm.. Okay.”

'Cekl'

Suara pintu ruangan terbuka saat Jaehyun dan Nara sudah selesai berbicara, terlihat Sungchan dengan membawa tas ransel di pundaknya berisikan baju dan perlengkapan Nara lainnya. Ia tersenyum melihat Nara yang sudah sadar dan menghampirinya.

“Gimana keadaan lo, Ra?” tanya Sungchan sembari menaruh tas ransel tadi di kursi.

“Aduh.. Kepala gue tiba-tiba sakit banget pas lo dateng,” ucap Nara berpura-pura.

“Sini gue sentil jidat lo biar makin sakit,” ucap Sungchan yang hendak menyentil kening Nara.

“Eh iya ngga, bercanda,” Nara tertawa kecil memperlihatkan deretan giginya.

Jaehyun tertawa kecil melihat kedua anaknya bercanda ria.

“Ra, kamu ganti baju dulu, gih, dokternya sebentar lagi dateng,” ucap Jaehyun.

“Okay.”

Nara turun dari kasurnya dengan bantuan Sungchan dan Jaehyun, Sungchan menunggu diluar jika terjadi apa-apa pada Nara sementara Jaehyun izin pergi ke lantai atas untuk melihat keadaan Oma dan memberitahu juga tentang kondisi Nara yang sudah mulai membaik.

Sungchan merasa bosan menunggu Nara diluar dan bertanya-tanya mengapa Nara lama sekali padahal hanya berganti baju. Seketika ide jail terlintas di otaknya.

“Ra, buruan! Dokternya udah dateng!” teriak Sungchan.

“Iya tunggu sebentar,” ucap Nara dsri dalam.

“Gue ke toilet bentar, ya, lo nanti hati-hati keluarnya.”

“Ih Sungchan, jangan tinggalin gue! Masa gue sendiri, sih?”

Nara terdiam sebentar, tidak ada jawaban lagi dari Sungchan. Apakah Sungchan sudah pergi ke toilet? Sementara diluar, Sungchan seperti menahan ketawanya agar tidak didengar oleh Nara. Sungchan terlihat senang ketika Nara sudah mulai panik jika ditinggal sendirian.

“Sungchan?”

“Chan, lo beneran ke toilet?”

Sama sekali tidak ada jawaban. Nara buru-buru membereskan barang-barangnya dan segera mengecek apakah benar Sungchan sudah tidak ada di ruangannya.

Namun..

'Dep'

Lampu toilet mati seketika, badan Nara kaku seketika dan berteriak.

“SUNGCHAN!!”

Sang pelaku tertawa keras mendengar teriakan Nara dari dalam, dengan jailnya Sungchan mematikan lampu kamar mandi yang membuat Nara ketakutan. Tidak bisa dibayangkan bagaimana pembalasan Nara nanti, Sungchan berniat untuk kabur setelah ini.


Nara sudah menyelesaikan pemeriksaan hari ini, ia dipinta oleh dokter istirahat yang cukup dan tidak memikirkan hal-hal yang berat dan juga ia diperbolehkan pulang besok. Itu membuatnya sangat senang karena dirinya tidak perlu lagi berbaring lebih lama di ruangan yang berbau obat-obatan seperti ini.

Jaehyun izin ke ruangan dokter untuk mengetahui kondisi Nara lebih lanjut untungnya Jaehyun tidak perlu khawatir karena ada Sungchan yang menjaga Nara. Walau tadi mereka ada pertengkaran kecil akibat kejadian di toilet tadi.

“Ra, masih marah gak?” tanya Sungchan.

“Menurut lo?!” Nara menatap sinis Sungchan.

Sungchan terkekeh pelan.

“Seru juga jailin lo setelah sekian lamanya, sampe gue, tuh, udah nyiapin kedepannya gue bakalan jailin lo gimana lagi, ya,” ucap Sungchan dengan watados-nya. Wajah tanpa dosa.

“Lo bener-bener, ya,” Nara melemparkan bantal kearah Sungchan.

“Kalo tau gitu, gue gak mau ketemu sama lo lagi,” cetus Nara.

“Ya, jangan dong. Masa gak mau ketemu gue lagi,” ucap Sungchan.

“Hehe.. Bercanda.”

'Brak!'

Nara terkejut saat pintu ruangannya di buka secara kasar oleh seseorang yang berjalan masuk dan langsung memeluknya.

“Ra, lo gapapa, kan? Masih ada yang sakit, kah?”

Nara terbatuk saat dipeluk oleh seorang pria tersebut, ia melepaskan pelukannya dan menutup mulutnya dengan satu tangannya.

“Kak Jeno bau rokok,” ucap Nara.

Ya, itu Jeno.

Jeno menggaruk tengkuknya dan mencium jaket kulit yang dikenakannya, memang bau rokok sebab sebelum kemari tadi ia menyesap satu batang rokok.

“Sorry, tapi cuma satu, kok.”

Karena Nara tidak suka dengan bau rokok, Jeno membuka jaket kulitnya dan memasukkannya kedalam tas. Ia juga berniat untuk menyikat giginya namun ditahan oleh Nara.

“Nanti aja, gapapa.”

“Gimana kata dokter?” tanya Jeno yang duduk di kursi.

“Ya, gitu deh. Udah membaik dan besok juga udah boleh pulang, kok,” ucap Nara tersenyum.

“Syukurlah.”

“Kak Jeno sendiri kesini? Kak Mark mana?” tanya Nara.

“Ada, tuh, di depan. Gue gak tau kenapa dia gak mau masuk, mau tunggu diluar aja katanya,” jawab Jeno.

Nara melihat kearah pintu yang terbuka terlihat Mark hanya berdiri disana dan mencoba untuk mengalihkan pandangannya agar tak menatap mata Nara.

“Kak Mark gak mau masuk? Kak Mark gak mau liat aku, ya?” tanya Nara dengan nada sedih.

Mark terkejut mendengar pertanyaan Nara, ia bukan tidak mau masuk. Mark takut jika Nara melihat nya, Nara akan menjerit seperti waktu itu dan menyuruhnya untuk pergi lagi.

“Gapapa, aku liat dari sini aja. Aku seneng kondisi kamu semakin baik,” ucap Mark tersenyum.

Nara menundukkan kepalanya dan memainkan selimut yang menyelimuti setengah tubuhnya. Mark tidak mau melihatnya secara dekat, padahal Nara sudah rindu dengan Mark.

“Bang, udah masuk aja,” ucap Jeno.

Mark mulai memberanikan diri untuk masuk saat mendapat isyarat dari Jeno dan Sungchan. Nara terlihat sedih karena hanya Mark yang tidak mau bertemu dengan dirinya. Jeno bangkit dari duduknya dan membiarkan Mark yang duduk disana.

Mark menggenggam tangan Nara dan mulai berbicara.

“I'm so sorry, bukannya aku gak mau liat kamu tapi aku takut kamu teriak lagi kayak waktu itu. Kamu kayak ketakutan liat aku, jadinya aku gak mau terlalu dekat sama kamu.”

“Aku gak mau kamu makin trauma, Ra,” jelas Mark.

“No, Kak Mark gak salah. Maaf kalo aku teriak dan suruh Kak Mark pergi waktu itu, aku sama sekali gak ada maksud untuk itu,” ucap Nara.

“No, it's okay,” Mark memeluk Nara dengan erat.

“I miss you so much.”

“I miss you too.”

Nara senang dapat bertemu dengan ketiga kakaknya lagi, ia sama sekali tidak pernah berharap akan bertemu keluarganya lagi setelah Agra tidak mengizinkan nya untuk bertemu keluarga Jung. Namun, Tuhan berkata lain, Tuhan kembali mempertemukan mereka. Nara percaya adanya takdir, sebuah takdir dimana dirinya memang tidak bisa terlepas dari keluarga Jung. Karena apapun keadaannya mereka semua terbentuk dalam satu keluarga yang sudah seharusnya saling menjaga satu sama lain.

Nara tidak peduli tentang status dirinya dalam keluarga Jung, yang ia inginkan adalah tetap bersama keluarganya, seperti dulu lagi sebelum semua masalah datang.

Nara hanya butuh keluarga Jung disisinya.

© jenxclury


Kedua mata Nara terbuka akibat sinar matahari yang menyeruak masuk menembus jendela rumah sakit. Ia melihat sekelilingnya banyak dinding putih yang dihiasi beberapa aksesoris. Nara meringis kesakitan dibagian kepalanya yang terasa begitu pusing. Ia mencoba menggerakkan tangannya namun seperti ditahan oleh seseorang. Dengan jelas Nara melihat wajah pria lesung pipi itu yang sedang tertidur pulas dengan tangannya yang menggenggam tangan Nara.

Nara tersenyum kecil.

Merasa ada pergerakan didepannya, pria itu membuka matanya dan melihat Nara yang sudah bangun sedari tadi. Ya, itu Jaehyun. Jaehyun tersenyum melihat Nara lalu mengusap puncak kepala Nara.

“Hey, kapan kamu bangun? Kenapa gak bangunin papah?” ucap Jaehyun.

“Baru aja, kok. Pah, Ayah Agra dimana?” ucap Nara tiba-tiba.

Jaehyun terdiam, mengapa Nara menanyakan Agra disaat semua yang Agra lakukan membuat Nara trauma? Jaehyun berusaha tenang agar bisa menjawab pertanyaan Nara, jujur saja ia sangat kesal jika mendengar nama Agra.

“Nara, kamu belum sehat banget, jangan pikirin yang lain dulu, ya,” ucap Jaehyun.

“I know, aku cuma mau tau ayah dimana,” Nara menatap Jaehyun dalam.

Jaehyun bisa melihat dari mata Nara bahwa ia sedikit mengkhawatirkan keadaan ayah kandungnya itu.

“Agra sudah diamankan oleh polisi.”

Ucapan Jaehyun terhenti saat Nara memandang kearah lain, tak lagi menatapnya. Jaehyun tahu Nara akan kecewa mendengar ucapannya.

“Nara, papah ngerti dia ayah kandung kamu, tapi dia udah keterlaluan banget sama kamu. Dia sudah mencelakakan kamu sampai akhirnya kamu berbaring di rumah sakit seperti ini,” jelas Jaehyun.

“Papah minta tolong sekali aja, jangan kasihani ayah mu itu. Dia harus diberi pelajaran, Ra,” lanjutnya.

“Iya, Nara tau. Makasih, ya, pah udah selamatin aku, setidaknya aku gak ngerasain sakit lagi sekarang,” ucap Nara dengan mata berbinar.

“Makasih papah masih mau tolongin aku yang selama setahun ini bahkan aku gak pernah ngerasa bersalah sedikitpun setelah pergi dari rumah.”

“I think, i don't deserve it,” ucap Nara.

“No, you're my daughter. Jangan berbicara seperti itu, papah akan lakukan apapun demi kamu. Papah akan selalu menjadi penolong buat kamu kapanpun itu.”

“Papah akan selalu jagain kamu because i'm you're papah, right?”

Nara meneteskan air matanya saat mendengar ucapan papahnya. Jaehyun benar-benar menepati janjinya untuk selalu menjaga dan melindunginya. Jaehyun selalu menjadi yang terbaik untuk Nara, hanya Jaehyun yang mendapat gelar teristimewa di hatinya.

“Yes, you're my papah.”

“Maafin Nara, ya, pah karena pergi gitu aja dari rumah. Padahal papah udah larang tapi Nara gak dengerin omongan papah,” ucap Nara sedikit terisak.

“No, kamu gak perlu minta maaf. Papah yang salah, Ra, maaf,” Jaehyun memeluk Nara dengan erat.

Nara membalas pelukan Jaehyun, pelukan yang sangat ia rindukan, pelukan yang selalu membuatnya nyaman. Nara terisak dalam pelukan Jaehyun, ia berharap akan terus seperti ini. Begitupun dengan Jaehyun, ia sangat senang Nara kembali setelah satu tahun berpisah. Hatinya terasa begitu penuh dengan kebahagiaan, Jaehyun berjanji pada dirinya sendiri untuk selalu menjaga Nara dan tidak akan membiarkan siapapun mengambil Nara darinya.

Jaehyun sudah banyak bersalah selama ini dengan berbohong pada Nara tentang keluarganya yang membuatnya pergi dari rumah. Tentu saja ia harus menjelaskan semuanya pada Nara sampai tidak ada lagi kesalahpahaman diantara mereka.

Ya, Jaehyun harus melakukan itu.

© jenxclury


“Apa-apaan ini cuma segini?!” seorang pria membuang beberapa lembar uang kertas ke wajah gadis perempuan didepannya.

“Aku cuma ada segitu, Yah. Cuma itu yang Nara punya.”

Ya, Agra telah menerima uang yang sudah dijanjikan Nara malam ini, namun ia tidak puas dengan apa yang didapatnya. Hanya lima lembar uang seratus ribu dan itu tidak cukup untuknya. Uang itu simpanan Nara untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, namun sekarang sudah pindah tangan ke Agra.

“Masa mereka cuma ngasih kamu segini? Papah mu itu udah bangkrut, kah?” ucap Agra.

“Nara gak minta sama papah, Yah. Itu uang simpenan Nara, gak enak kalo minta papah terus.”

“Nanti kalo Nara dapat uang lagi, sisanya Nara kasih ke Ayah, ya,” ucapnya lagi.

“Alah, baru juga minta sekali, papah mu itu pelit banget. Saya gak mau tau, kamu harus cari lagi sisanya. Saya butuh malam ini juga,” seru Agra.

“Yah, Nara belum bisa cari lagi, yang kemarin udah semuanya Nara kasih ke Ayah. Gak mungkin, kan, Yah, dalam dua hari udah abis uangnya. Ayah pake untuk apa?” ucap Nara. Benar, ia sangat ingin tahu untuk apa uang itu digunakan.

“Kamu gak perlu tau, ini urusan saya. Tugas kamu hanya mencari uang,” ucap Agra dengan nada emosinya.

Emosi Nara memuncak saat mendengar kalimat itu, bukankah seharusnya seorang Ayah yang bekerja? Nara hanyalah seorang anak yang bertanggung jawab dengan belajar dan pergi sekolah, bukan bekerja. Agra sudah sangat melewati batas, Nara harus mencoba untuk melawan jika tidak Agra akan terus seperti ini.

“Kerja? Bukannya seharusnya ayah yang kerja? Tugas seorang ayah adalah bekerja. Bukan anak, Yah.”

“Aku cuma seorang anak yang seharusnya belajar dan pergi sekolah, toh, kalo emang harus kerja, hasil gaji itu milik aku. Bukan milik Ayah,” tegas Nara.

'Plak!'

“Kurang ajar kamu, ya, berani melawan saya!” wajah Agra memerah terlihat urat-urat wajahnya menonjol. Pipi Nata terasa panas dan merah akibat tamparan keras dari Agra, air matanya mengalir menyusuri pipi merah tersebut.

“Beraninya kamu berbicara seperti itu pada saya!? Kamu seharusnya bersyukur, saya masih mau menganggap kamu anak!”

“Aku gak pernah mau dianggap anak sama Ayah! Gak ada seorang Ayah yang tega nyakitin anaknya sendiri bahkan memanfaatkan anaknya demi kesenangan hidup Ayah sendiri!”

“Aku udah cukup sabar selama ini, Yah, aku selalu terima luka yang setiap hari Ayah kasih ke aku.”

“Aku kira aku akan bahagia tinggal bersama ayah kandung aku, aku seneng bisa ketemu ayah waktu itu. Tapi kenyataannya, tinggal sama papah jauh lebih baik daripada tinggal sama Ayah!”

'Plak!'

Lagi, Nara mendapatkan tamparan keras lagi dari Agra. Nara sudah meluapkan emosinya yang selama ini ia pendam, terlalu sakit jika ia menyembunyikan ini dalam waktu berkepanjangan. Ia tidak ingin hidup seperti ini. Ia ingin hidup kembali seperti sebelum dirinya bertemu dengan Agra dan mendapatkan semua luka ini. Sangat sakit rasanya.

“Kamu benar-benar anak yang kurang ajar! Kamu sama aja kayak ibu kamu!” Agra mengambil benda panjang dikantong celananya, mata Nara membulat saat melihat benda tersebut.

Sebuah pisau lipat yang sudah ada digenggaman Agra.

“Akan lebih baik jika kamu menyusul ibumu, Nara. Dengan begitu saya akan hidup dengan tenang,” ucap Agra yang mulai mendekat dengan menodongkan pisau lipat ke arah Nara.

“Nggak, Ayah, jangan!”

“KAMU LEBIH BAIK MATI!!”

Agra menaikkan pisau lipat itu dan mengarahkan ke wajah Nara namun tangan Nara lebih dulu menahan pisah itu walau tangannya terluka sekarang. Aksi gila Agra harus dihentikan sekarang juga.

“Stop Ayah! Ini Nara, anak kandung Ayah!”

“Saya tidak pernah mau punya anak kandung yang kurang ajar seperti kamu!”

Agra menekan pisau itu ditangan Nara membuat darah segar mengalir menuruni lengan putihnya. Nara mulai meringis kesakitan, karena benda tajam tersebut sudah menusuk dalam telapak tangannya.

“Ayah.. S-sakit.”

Nara harus menyingkirkan Agra sebelum telapak tangannya robek akibat pisau itu. Ia menendang perut bawah Agra membuat pisau itu terlepas dari tangannya lalu ia berlari keluar rumah untuk menyelamatkan diri.

“Akhh! Jangan lari kamu!”

Nara terus berlari sampai menuju tempat ramainya orang namun tidak ada orang sama sekali disana. Wajar saja karena hari sudah mulai tengah malam, orang-orang tidak lagi berkeliaran keluar rumah. Nara melihat kebelakang dan melihat Agra mengejarnya dengan pisau lipat yang masih berada ditangannya.

'Duk!'

“Akhh!”

Nara tersandung batu besar yang membuat lututnya mengeluarkan darah segar. Agra tersenyum miring mendapati Nara yang sudah tidak bisa lari kemanapun, kakinya sulit untuk berlari sekarang. Ini kesempatan nya untuk membawa Nara kembali ke rumah.

Nara mulai ketakutan karena Agra semakin mendekat ke arah nya. Ia mencoba berdiri namun tidak bisa, kakinya sangat sulit untuk digerakkan. Nara menyeret tubuhnya untuk menjauh dari Agra namun terlambat, Agra menarik kaki Nara dan menyeretnya dari sana.

“Kamu tidak akan bisa lari dari saya, Nara. Kamu semakin nakal, maka kamu akan semakin terluka,” Agra tertawa kecil melihat Nara yang meringis kesakitan.

Tubuhnya sudah terlihat luka-luka kecil akibat bergesekkan dengan aspal, tangisan dan teriakkan Nara semakin keras tak dihiraukan oleh Agra. Tangannya mencoba menahan agar tubuhnya tak tertarik oleh Agra namun tidak bisa. Tenaga Agra sangat kuat sekarang.

Agra benar-benar terlihat seperti psikopat.

Nara melihat sekelilingnya dan melihat sebuah batu yang lumayan besar, dengan segera ia ambil batu tersebut lalu ia lemparkan tepat mengenai kepala Agra. Agra terjatuh memegangi kepalanya yang pusing, telihat darah mengalir dari sana. Nara segera bangun dengan hati-hati dan berlari kecil agar jauh dari Agra.

Lututnya masih terasa sakit karena lukanya yang semakin melebar ia terus berlari semampu dirinya sampai akhirnya Agra sudah tak terlihat, ia bersembunyi dibalik tempat sampah besar dan membuka ponselnya untuk mengabari seseorang yang bisa menolongnya sekarang.

'Papah'

Benar, ia harus menghubungi Jaehyun sekarang.

© jenxclury


Jam sudah menunjukkan pukul 8 malam, sesuai janji Mark pada Nara ia akan datang ke minimarket tempat Nara bekerja. Mark tersenyum saat mendapati Nara di tempat kasir ketika selesai melayani pelanggan. Nara pun membalas senyuman Mark.

“Udah selesai kerjanya?” tanya Mark.

“Hm.. Sebentar lagi, tapi gapapa, kita bisa bicara sekarang,” balas Nara.

Mark menghembuskan napasnya lalu melihat ke sekeliling, ia tampak tak asing dengan tempat ini karena Mark pernah membeli cemilan di toko tersebut.

“Kamu kenapa gak cerita kalo kerja disini? Aku pernah kesini, tapi kok kamu gak ada?” ucap Mark.

Nara terkekeh pelan, “aku juga liat Kak Mark pernah kesini, cuma waktu itu aku sembunyi. Karena aku takut,” jelas Nara.

“Why? Kenapa sembunyi? Seharusnya kita bisa lebih cepet ketemu waktu itu,” perkataan Mark membuat Nara menundukkan kepalanya dan tersenyum tipis.

Mereka sudah duduk di kursi yang tersedia disana, agar lebih nyaman untuk membicarakan banyak hal.

“Aku masih takut, saat itu aku bener-bener mau menghindar. Aku gak tau harus apa, mungkin karena lukanya masih ada,” tutur Nara.

“Maaf.”

“No, it's okay. I'm getting better now.”

“Mungkin aku yang minta maaf karena udah lost contact lagi sama Kak Mark. Karena Ayah yang blokir semuanya,” ucap Nara.

“No, kamu gak salah,” Mark mengusap pundak Nara pelan namun Nara menghindari nya dan meringis kesakitan.

Mark terheran akan itu, padahal ia hanya mengusapnya pelan. Tapi mengapa reaksi Nara seperti itu?

“Kamu kenapa? Ada yang sakit?” tanya Mark mulai khawatir.

Ini sudah dua minggu berjalan namun rasa sakit dan luka biru yang ada diseluruh tubuhnya masih membekas. Memang Ayahnya sudah tidak memukulinya lagi, tapi sakitnya masih terasa saat Mark menyentuhnya.

“Aku gapapa, Kak.”

“Jangan bohong, Ra. Jelasin semuanya ke aku.”

Nara diam. Ia takut untuk mengungkapkan ini—tentang Ayahnya terakhir kali memukulinya lagi dan menguncinya di kamar mandi hingga wajahnya memucat.

“Kamu dipukuli lagi sama Ayah mu?” Nara masih diam, ia semakin tak berani menatap mata Mark yang menatapnya tajam.

“Ra, look at me. Tell me the truth, Ayah kamu pukul kamu lagi?” Mark menggenggam lengan Nara dan menyentuh dagunya agar menatap mata Mark.

Entah mengapa mata Nara begitu perih sampai akhirnya air matanya lolos begitu saja.

“Oh, god.”

Mark membawa Nara kedalam pelukannya yang menangis. Hati Mark terasa sakit jika melihat Nara seperti ini. Rasa kesal dan sedih sudah menjadi satu, menyelimuti hati Mark. Ia mendekap tubuh Nara, tangisannya semakin terdengar, Mark mencoba menenangkan Nara.

“Kak Mark, sakit.”

“Sakit, Kak.”

“Semuanya sakit.”

Mark memejamkan matanya, rasa sakit yang dirasakan Nara terhantarkan oleh Mark. Matanya sudah berkaca-kaca namun ia menahan air matanya untuk keluar.

“Ada aku, Ra. Jangan takut,” kalau boleh, Mark hanya ingin memeluk Nara terus seperti ini.

Saat mereka sedang bertemu kangen, melepaskan seluruh kerinduan yang membuat mereka sakit, seseorang menarik tangan Nara dengan kencang dan membawanya keluar dari toko itu. Pelukan itu terlepas secara paksa, Mark mengejar orang yang membawa Nara aedang meringis kesakitan.

“Lepasin Nara!”

Teriakan Mark tidak didengarkan oleh pria paruh baya itu, ia tetap berjalan—menyeret Nara jauh dari Mark.

“Lepasin Nara atau Anda saya laporkan ke polisi atas kasus kekerasan terhadap anak,” teriak Mark dengan napas yang menggebu-gebu.

Langkah pria itu berhenti namun cengkeraman tangannya belum dilepaskan, air mata Nara semakin deras karena itu.

“Atas dasar apa kamu berani melaporkan saya? Kita tidak saling kenal, jadi tidak usah ikut campur dengan urusan orang lain!” tegas Agra.

Ya, itu Agra.

Nara hanya bisa diam karena dan menangis sekaligus tidak berani menatap mata sang Ayah karena itu sangat menakutkan. Cengkeraman tangannya semakin dikuatkan Nara semakin meringis kesakitan.

“Karena Nara adik saya, jadi saya harus ikut campur atas masalah ini. Saya tidak akan membiarkan Anda untuk menyakiti Nara lagi,” cetus Mark.

“Saya Ayah kandungnya. Kamu tidak berhak untuk melarang-larang saya!” seru Agra.

“Tidak ada seorang Ayah yang tega melakukan kekerasan pada anaknya. Anda tidak pantas dipanggil seorang Ayah,” ucap Mark dengan nada yang sedikit ditekan.

“Bahkan kata bajingan masih terdengar bagus untuk Anda,” lanjut Mark yang menatap tajam Agra.

“Kurang ajar!”

Langkah Agra terhenti saat Nara menahan tangannya yang hampir saja melayangkan satu tinjuan pada Mark, Nara mencegah itu dengan cepat. Ia tidak ingin Mark terluka oleh tangan Ayahnya, cukup hanya ia yang rasakan.

“Udah, Yah, stop jangan berantem, ya. Nara yang salah, kak Mark gak salah,” ucap Nara masih dengan air mata mengalir.

“Kamu benar-benar keterlaluan! Selalu saja membangkang saya. Kita pulang, kamu harus diberi pelajaran,” ketus sang Ayah lalu menarik paksa Nara kembali.

“Saya bilang jangan sakiti Nara!” teriak Mark. Langkah mereka berhenti kembali.

Mark mengangkat ponsel agak tinggi yang memperlihatkan nomor kantor polisi, ia akan memencet tombol memanggil jika Agra menyakiti Nara lagi.

“Saya akan memencet tombol memanggil dan Anda akan mendapatkan hukuman yang seberat-beratnya,” ancam Mark.

Agra menggertak kan giginya, rasa kesal sudah benar-benar menyelimuti dirinya. Ia berusaha untuk menahan emosinya karena Nara yang terus menahannya.

“Lepaskan Nara, biar Nara pulang sama saya,“ucap Mark lagi.

“Nara anak saya. Dia harus pulang ke rumahnya.”

“Saya akan antar Nara ke rumah Anda, setidaknya itu lebih baik daripada harus pulang bersama Anda,” Mark mendekat dan menggenggam tangan Nara lalu menariknya agar terlepas dari cekatan Agra.

Agra membiarkan Nara bersama Mark, sepertinya Mark tidak akan berbohong untuk membawa pulang ke rumahnya. Ia juga sedikit takut jika harus dilaporkan ke polisi.

“Saya tunggu di rumah, awas jika tidak pulang,” ucap Agra pada Nara dengan penuh penekanan.

Nara mengangguk pelan lalu berjalan mengikuti Mark menuju mobilnya. Mereka berdua hanya diam saat sudah berada didalam mobil, Mark masih berusaha untuk menetralkan emosinya sedangkan Nara hanya diam gelisah, tidak tahu apa yang harus ia katakan setelah kejadian tadi.

“Aku mau bilang papah soal ini,” ucap Mark tiba-tiba yang membuat Nara terkejut.

“No, please, Kak, jangan. Aku gak mau papah tau soal ini,” Nara memohon.

“Ra, kamu mau terus-terusan tinggal sama dia? Kamu mau terus-terusan disakitin sama dia? Dia bukan Ayah kamu, Ra, sadar!” ucap Mark dengan nada bicaranya yang sedikit tinggi.

Nara menundukkan kepalanya,“dia Ayah aku, Kak. Gak selamanya dia bakalan sakitin aku. Tolong jangan kasih tau papah,” Nara memohon lagi.

“Kamu keras kepala banget, ya, Ra. Kamu pilih tinggal sama bajingan itu daripada pulang ke rumah, kalo papah tau dia akan marah banget, Ra.”

“Pas tau gimana anak perempuan satu-satunya disakiti sama orang yang katanya 'Ayah'. Dia gak pantes disebut Ayah, Ra,” Nara hanya diam saat Mark mengatakan itu dan menunduk.

Mark menyalakan mesin mobilnya lalu emlaju cepat menuju kostan milik Nara.

Tidak membutuhkan waktu lama karena jarak antara tempat kerja Nara dan kostan tidak jauh. Mark memarkirkan mobilnya didepan gang kostan Nara, ia menurunkan Nara disini karena mobilnya tidak bisa masuk.

“Kak Mark, tolong jangan kasih tau papah, ya, tolong,” Nara menggenggam lengan Mark dan memohon lagi.

Pandangan Mark lurus kedepan ia tak menatap Nara, takut amarah mendominasi dirinya lagi.

“Aku gak bisa janji.”

Nara tersenyum tipis lalu mengangguk pelan,“kak Mark hati-hati dijalan ya,” Nara keluar dari mobil itu lalu berjalan menuju kostannya.

Mark tidak langsung menjalankan mobilnya pergi, ia menunggu beberapa saat, takut jika terjadi apa-apa pada Nara. Cukup lama, sampai dia rasa sudah aman tidak ada tanda-tanda yang mencurigakan, Mark melajukan mobilnya pergi dari sana.


Nara memasuki rumah itu dengan rasa takut di hatinya, takut jika Agra emosi kembali. Ia membuka pintu dan mendapati Agra yang sudah duduk di sofa kecil menatapnya dengan tajam. Suasana menjadi awkward, sampai Agra yang memulai pembicaraan.

“Bagus kamu ya, sudah berani membantah saya.”

“Maaf, Ayah, Nara bohong sama Ayah. Kalau Ayah mau pukul Nara silahkan,” ucap Nara pasrah.

Agra terdiam sebentar menatap Nara, ia sangat ingin memberi pelajaran pada Nara namun dia berusaha menahan itu.

“Udah sana masuk kamar.”

Tanpa menanyakan alasannya, Nara bergegas masuk ke kamar. Ia tidak ingin membuat Agra semakin marah dan akan berakibat buruk pada dirinya.

'Saya harus menahan emosi saya dan berusaha baik pada Nara. Dengan begitu, saya dengan mudah mendapatkan semua harta milik Jung,' batin Agra.

© jenxclury


Bel pulang sekolah sudah berbunyi, seluruh siswa siswi berlarian keluar kelas untuk pulang ke rumah masing-masing. Namun tidak dengan Regaf dan teman-teman, mereka berkumpul membentuk lingkaran dengan Kiara di tengah. Ya, Regaf akan berbicara dengan Kiara soal penghapus data-data di laptop Regaf. Tidak ada Keenan dan Azel di sana, Keenan tidak masuk hari ini sedangkan Azel sedang keluar membeli makanan ringan.

Tidak ada rasa takut atau gelisah dari wajah Kiara walaupun Regaf dan yang lainnya menatap dirinya dengan tajam. Ia terlihat sangat tenang seperti tidak ada beban.

“Mau ngomong apa, Gaf? Kayaknya serius banget,” Ezra membuang muka setelah Kiara selesai berbicara, sepertinya dia sudah mulai muak.

“Gue cuma minta lo jujur, lo yang hapus data-data di laptop gue, kan?” tanya Regaf to the point. Rasa kesalnya sudah hampir diujung tanduk namun masih ia tahan.

Kiara sedikit terkejut, “what? Yakali, Gaf, gue hapus data-data di laptop lo. Gue bahkan gak tau apa-apa,” jelas Kiara, berbohong.

“Kan tadi gue udah bilang, gue mau lo jujur. Gue tanya sekali lagi, lo yang hapus data-data di laptop gue?” ucap Regaf sembari berdiri. Ia mengepalkan tangannya dan mengatur napasnya.

“Gue udah jujur, Gaf, bukan gue. Lo, kok, jadi nyalahin gue, sih? Bukannya Azel yang hapus data-data lo?”

'Brak!'

Kiara terkejut saat Regaf menggebrak meja tepat didepan matanya. Amarah Regaf sudah tidak bisa dibendung lagi, ia sudah berusaha keras untuk menahan emosinya namun Kiara tak kunjung berbicara jujur.

Algeff memposisikan dirinya di belakang Regaf untuk menahannya agar tak terlewat batas.

“Semua yang lo ucapin itu bohong, gue minta lo jujur!” bentak Regaf.

“Susah banget buat lo ngomong jujur, hah?” lanjutnya.

'Anjir, Regaf kenapa bisa tau? Bukannya seharusnya Azel ya yang diginiin?' batin Azel.

“Lo dimana pas jam istirahat waktu itu?” tanya Regaf namun Kiara tetap diam tak menjawab nya.

Kiara sudah setengah takut sekarang, bagaimana bisa Regaf mengetahuinya? Apakah Azel mengadu pada Regaf?

“Jawab gue!”

Meja itu kembali digebrak oleh Regaf dan menyadarkan Kiara dari lamunannya.

“G-gue di kantin sama Ezra, ya kan, Zra?” ucap Kiara pada Ezra, berharap Ezra akan berpihak padanya.

“Lo bilang sama gue mau ke toilet waktu itu, pantesan lama ya. Ternyata lo malah mampir ke kelas buat hapusin data-data Regaf.”

Skakmat!

Tameng terkuatnya sudah tidak lagi berpihak padanya, bahkan ikut memojokkan dirinya seperti ini. Sial, ini semua karena Azel.

“Mau alesan apalagi lo? Lo mau perlu bukti lagi kalo lo yang lakuin?” ucap Regaf.

Kiara semakin ketakutan, otaknya terus berputar mencari alasan untuk Regaf mempercayai nya.

“Ngaku aja, Ra, kalo lo tambah bohong kita semua gak akan maafin lo,” kini Algeff yang berbicara.

“Gaf, bukan gue yang hapus, gue gak mungkin setega itu. Tolong percaya sama gue, lo pasti kehasut sama omongan Azel, kan? Jangan dengerin Azel, Gaf, dia tuh—

“Gak usah bawa-bawa Azel! Azel gak salah,” seru Regaf.

“Lo kenapa jadi kayak gini, sih, Ra? Tinggal jawab jujur aja kayaknya susah banget,” timpal Ezra.

“Bukan gue, Zra, Gaf. Harus gimana lagi, sih, gue supaya lo semua percaya?” Kiara tetap dengan pendiriannya, ia tidak mau mengaku atas apa yang ia lakukan.

Regaf mengusak rambutnya frustasi, kenapa Kiara sangat tidak mau berkata jujur padanya? Padahal semuanya sudah sangat jelas, Regaf hanya ingin Kiara jujur padanya.

Azel dengan santai masuk ke dalam kelas dengan membawa satu kotak susu cokelat dan sari roti yang ia beli di minimarket tadi. Langkahnya menjadi pelan saat suasana dalam kelas menegangkan dan terlihat sepi. Ia melihat wajah Regaf yang sudah frustasi dan Kiara yang ketakutan. Ah, sudah mulai berbicara rupanya.

Azel berniat untuk mengambil tasnya dan segera keluar, ia tidak ingin memperkeruh suasana namun ia duduk terjauh saat Kiara mendorong tubuhnya.

“Ini semua gara-gara lo! Lo kan yang hasut Regaf supaya dia benci sama gue?! Mau lo apa, sih, Zel? Lo muka dua banget!” teriak Kiara.

Ezra membantu Azel berdiri yang meringis kesakitan.

“Lo yang apa-apaan, Ra?! Gue bilang Azel gak salah, lo yang muka dua!” bentak Regaf. Algeff mencoba menenangkan Regaf kembali agar tidak terlalu keras oleh Kiara, bagaimanapun juga Kiara seorang wanita.

“Lo bilang gue muka dua? Ngaca! Muak banget gue liat muka sandiwara lo itu, bahkan dalam kondisi kayak gini pun lo masih nyalahin gue? Lo beneran gak waras, Ra,” ucap Azel juga tersulut emosi.

“Gue yang ngasih tau Regaf kalo lo yang lakuin. Kenapa? Lo gak suka? Terserah, gue gak peduli. Gue udah capek terus-terusan lo pojokkin kayak gini, sekarang lo rasain gimana rasanya jadi gue. Gak enak, kan?” Azel mengambil tasnya lalu keluar dari kelas itu.

“Gue kecewa sama lo, Ra,” ucap Regaf lalu mengikuti langkah Azel keluar dari sana.

“Bukan gue yang lakuin, Gaf. Regaf!” panggilan Kiara tidak didengar oleh Regaf.

Algeff dan Ezra juga pergi dari sana, rasa kecewa mereka sama dengan Regaf. Tidak menyangka jika Kiara akan setega dan sejahat ini hanya karena merasa jengkel terhadap Azel.

Kiara berteriak keras dan mengacak-acak rambutnya, semuanya berantakan akibat Azel. Ia tidak akan tinggal diam, ia akan membalas perbuatan Azel.

© jenxclury


Keenan dan ketiga temannya sudah berkumpul di tempat biasa mereka nongkrong, hanya ada mereka berempat. Karena yang lainnya masih ada mata kuliah, sebenarnya hari ini hari dimana mereka ingin mempertemukan Keenan dan Malik untuk meluruskan permasalahan yang ada. Sejak hari dimana mereka bertengkar, keduanya menjadi sangat canggung dan tidak mau betemu satu sama lain. Malik yang kesal karena Keenan telah mendorong Azel dengan keras sehingga dirinya terjatuh ke tanah sementara Keenan masih ada rasa kesal yang sangat lama terpendam dalam dirinya lada Malik.

Tak lama kemudian suara beberapa motor mulai terdengar dan berhenti di tempat tongkrongan mereka. Mereka adalah Jean, Jeremy, Theo dan Malik. Raut wajah Keenan berubah seketika saat Malik ada diantara mereka. Ia bergegas menggemblok tasnya dipundak lalu melangkah pergi dari sana, namun tangannya ditahan oleh Regaf.

“Lo mau kemana?” tanya Regaf.

“Bukan urusan, lo,” ketus Keenan.

“Nan, selesain dulu permasalahan lo sama bang Malik, jangan kayak gini,” kini Ezra yang berbicara.

“Urusan gue sama dia, lo semua gak usah ikut campur,” lagi-lagi Keenan membalasnya dengan ketus.

“Kita harus ikut campur, Nan, karena lo sama bang Malik itu keluarga. Gue gak mau jadi awkward gini,” ucap Regaf.

Keenan berdecak kesal ketika mendengar Regaf berbicara. Niatnya untuk senang-senang disini tapi semua tidak berjalan sesuai ekspektasinya, Keenan sangat muak melihat wajah Malik sekarang.

“Gue mau ngomong sama lo,” ucap Malik yang baru saja sampai dan langsung tertuju pada Keenan.

“Gue gak ada waktu,” Malik menahan tubuh Keenan supaya tidak pergi dan itu membuat emosinya memuncak kembali.

“Mau lo apa, sih?!” ucap Keenan yang sedikit berteriak.

“Nan, we need to talk, kita harus selesaiin masalahnya,” kata Malik.

“Gue bilang gue gak ada waktu! Lo budek apa gimana?” kesal Keenan.

“Nan, jangan kayak gini, kita obrolin bareng-bareng biar semuanya jelas,” kini Jeremy ikut berbicara.

“Apalagi yang mau diobrolin, sih? Semuanya udah jelas, gue gak mau denger apapun lagi,” lagi-lagi Keenan ditahan untuk tidak pergi dari sana.

Keenan menghembuskan napasnya kasar, ia masih mencoba untuk menahan amarahnya agar tidak meluap.

“Lo batu banget, ya, Nan. Omongin dulu apa susah nya, sih,” ketus Jeremy.

Regaf mencoba menenangkan Keenan agar mau berbicara terlebih dahulu, ia memegang kedua bahu Keenan dan mulai berbicara.

“Lo tenang dulu, Nan. Gue tau lo kesel tapi kita ngomongin ini dulu, ya, biar semuanya jelas. Urusan lo kalo emang masih marah sama semuanya. Tapi gue mohon, lo harus ngomong sama bang Malik,” ucap Regaf.

Keenan diam sebentar, ia mencoba mengatur napasnya kembali dan mencoba untuk tenang lalu duduk di sofa kecil dan memalingkan wajahnya. Diikuti oleh Malik yang duduk berhadapan dengan Keenan yang sudah mau berbicara dengannya. Malik akan pelan-pelan berbicara.

“Sorry kalo gue ungkit yang dulu, gue mau ngurutin kejadian waktu itu biar lo gak salah paham lagi,” ucap Malik yang dengan tenang berbicara.

“Langsung aja,” kata Keenan.

Malik berusaha untuks setenang mungkin karena jika dia juga emosi, Keenan tidak akan mau berbicara padanya.

“Waktu itu, gue sama Karina emang lagi pergi ke taman. Sampe disana gue izin sama Karina buat ke minimarket, gue bilang sama dia supaya gak kemana-mana. Tapi pas gue balik dari minimarket, Karina udah dikerumuni orang-orang, ya dengan tubuh banyak darah.”

“Gue syok disana, gue langsung bawa Karina ke rumah sakit dan hubungin lo. Gue udah jujur sama lo, Nan, tapi lo gak pernah percaya sama gue.”

“Gak ada sedikit niatan untuk bikin Karina kayak gitu, gue gak mau, karena gue sayang sama Karina, gue cinta, Nan. Gue udah pernah janji buat terus jagain kakak lo, gue lakuin itu-

“Lo gak sepenuhnya ngelakuin itu! Kalo lo jagain kakak gue..dia masih ada sampe sekarang, bang,” Ezra menenangkan Keenan kembali sedangkan Malik menundukkan kepalanya.

Ya, Karina adalah kakak dari Keenan yang mempunyai hubungan dengan Malik. Hubungan mereka sudah berjalan 4 bulan, Keenan tidak mengekang kakaknya untuk berhubungan dengan siapapun, terutama Malik. Karena Keenan sudah kenal Malik sejak lama, ia mempercayai semuanya pada Malik. Namun sewaktu ketika, kepercayaannya dihancurkan begitu saja, Malik tidak sepenuhnya menepati janjinya untuk jaga Karina selalu.

Keenan sangat membenci Malik sejak itu, hingga sekarang. Walau Malik sudah menjelaskan dan melakukan sidang tentang kasus Karina dan dinyatakan tidak bersalah karena pure terjadi kecelakaan, Keenan tidak percaya hasil sidang tersebut. Alhasil ia terus membenci Malik dan terus menurun ke adiknya sekarang, Azel.

Terlihat belakangan ini Keenan selalu membuat keributan dengan Azel, dengan berbagai masalah karena Azel adalah adik dari Malik. Ia sangat benci itu, ralat, semua yang berhubungan dengan Malik ia sangat benci.

“Maaf, Nan, gue tau gue salah karena udah lalai, tapi disini gue sama kayak lo. Kita sama-sama sakit. Hasil sidang waktu itu udah jadi bukti kalo gue gak salah, bukan gue yang bunuh Karina, itu pure kecelakaan.”

“Maaf karena..Karina ninggalin lo sendiri disini, tapi dia bakalan sedih ngeliat lo kayak gini, Nan. Gue gak mau terus-terusan kayak gini, gue mau kita saling menguatkan.”

“It's okay kalo lo emang mau benci gue sampai kapanpun, tapi gue mohon banget sama lo..demi Karina, Nan. Biar dia tenang disana dan gak perlu khawatir sama kita.”

“Sekali lagi gue minta maaf, Nan. Kalo lo emang gak mau maafin gue, itu terserah lo. Gue harap lo ngerti, Nan,” jelas Malik.

Suasana hening ketika Malik selesai bebicara, Keenan menatap kosong ke bawah, pikiran kacau sekarang, ia harus segera menenangkan diri.

“Gue cabut duluan,” ucap Keenan lalu pergi dari sana.

“Loh, Nan, lo mau kemana? Belum selesai,” Jean memanggil Keenan untuk kembali.

“Udah, bang, gak usah. Biar dia tenangin diri dia dulu,” ucap Malik.

Jika Malik berpikir kembali, memang berat menjadi seorang Keenan. Wajahnya memang selalu menampilkan kecerian, jail, bercanda sana-sini tanpa beban dan selalu melontarkan kata-kata kasar pada siapapun yang merasa dirinya sudah sangat dekat. Semuanya hanya palsu belaka, Keenan yang sebenarnya itu rapuh.

Kedua orangtuanya bercerai saat dirinya duduk di bangku satu SMP, ketika disuruh memilih, ia memilih untuk tinggal bersama kakaknya—Karina. Itu menjadi pilihan terbaik untuk Keenan hidup, kebahagiaannya sekarang adalah hidup bersama kakaknya. Namun sejak kejadian itu, ia tidak punya siapa-siapa lagi, kebahagiaan dan alasannya untuk tetap hidup meninggalkan dia sendiri.

Sangat sakit.

Walaupun dirinya mempunyai teman-teman yang sudah ia anggap sebagai saudara dan keluarga sekaligus, namun mereka tidak bisa menggantikan seorang Karina. Keenan benar-benar butuh Karina ada disampingnya.

“Gue kangen sama lo, Kak. Tolong gue.”

© jenxclury


Nara membuka pintu kostan dan mendapati pandangan gelap karena lampu dimatikan. Ia menyalakan satu lampu di ruang tengah lalu berjalan ke kamar untuk melihat Ayahnya apakah sudah baik-baik saja.

Ia melihat sang Ayah sedang berkaca dengan menggunakan jaket kulit miliknya, Nara tersenyum. Ayahnya sudah membaik sekarang.

“Ayah udah baikan?” tanya Nara namun tidak ada jawaban dari Ayahnya.

“Oh iya, makanannya udah Ayah makan belum? Tadi sebelum jalan Nara masak dulu buat Ayah,” ucap Nara lagi namun sama sekali tidak digubris oleh Ayahnya.

Nara masuk ke dalam kamar mendekat kearah Ayahnya, namun langkah berhenti ketika sang Ayah mulai berbicara.

“Kamu bertemu dengan keluarga mu itu?”

Satu pertanyaan yang membuat Nara tak berkutik, bagaimana Ayahnya mengetahui itu? Apakah Nara sedang diikuti oleh seseorang?

“Jawab pertanyaan Ayah!” suara bentakan dari sang Ayah membuat Nara terkejut, dengan cepat menjawab sang Ayah.

“I-iya, tadi Nara ketemu sama kak Mark, Jeno sama Sungchan,” ucap Nara dengan nada bergetar.

Nara semakin terkejut saat kerah hoodie nya ditarik oleh Ayahnya, badannya sedikit terangkat akibat tarikan Ayahnya yang begitu kuat sembari menatap tajam kearahnya.

“Jangan pernah temui mereka lagi,” terlihat jelas oleh Nara wajah yang merah padam dengan urat-urat wajah yang menonjol. Sangat menyeramkan.

Nara mencoba melepaskan genggaman Ayahnya pada kerah hoodie nya, dirinya mulai tercekik sekarang.

“Kenapa tidak menjawab? Tidak mendengar apa yang saya katakan?” lagi-lagi Nara tidak menjawab Ayahnya, ia sangat takut dan tidak bisa berkata sepatah pun.

“JANGAN PERNAH TEMUI MEREKA LAGI!!”

'Brukk!'

Tubuh Nara menghantam tembok disana, dilempar oleh sang Ayah dengan keras. Nara dapat merasakan sakitnya kembali, kali ini lebih menyakitkan.

Air matanya mulai menetes karena sakit yang luar biasa di punggungnya, bahkan dirinya tidak dapat bergerak sama sekali.

“Mulut kamu enteng juga ya, memberi tahu mereka semua tentang apa yang sudah saya lakukan ke kamu,” sang Ayah mencengkeram kedua pipi Nara.

“Apa saya harus memberi pelajaran untuk mulut entengmu ini?” Nara menggeleng cepat ketika mendengar itu. Ia tidak mau merasakan sakit di seluruh tubuhnya lagi.

“Saya butuh jawaban! JAWAB SAYA!!” lagi-lagi Nara dibentak tepat didepan wajahnya.

Nara hanya bisa menangis sekarang, ia sangat takut dengan Ayahnya yang dengan celat berubah menjadi monster.

“Oke, tidak ada jawaban. Kamu benar-benar ingin diberi pelajaran, ya,” Nara kembali menggeleng namun satu tamparan sudah mendarat dipipi kanan nya.

Satu tamparan keras lagi ia terima dipipi kirinya. Kedua pipinya merah sekarang dan sangat panas. Sepertinya akan tumbuh luka, lagi.

Tidak sampai disitu, tubuh Nara diseret sampai kamar mandi kecil disana. Wajah Nara dicelupkan ke dalam bak air berkali-kali lalu sang Ayah menyalakan keran air yang langsung mengguyur kepala hingga sekujur tubuhnya. Dingin, sangat dingin.

“A-ayah..dinginhh..”

Sang Ayah tidak mendengarkan Nara, ia sudah tidak peduli dengan anak perempuan yang menurutnya kurang ajar itu.

“Dasar anak kurang ajar! Tidak tahu diri!”

'Dug!'

Kepala Nara terasa pusing saat menghantam tembok dibelakangnya, sang Ayah yang melakukan itu. Pandangannya kabur, sangat pusing. Matanya sudah tidak bisa menahan untuk tetap sadar, air dari keran terus mengalir di tubuhya. Pandangannya gelap, tubuhnya terjatuh dilantai.

“Papah, tolong Nara..”

Nara tak sadarkan diri.

Sang Ayah keluar dari kamar mandi tersebut lalu mengunci Nara didalam dengan air keran yang masih terbuka.

Nara hanya berharap dia dapat melihat matahari esok hari, ia sangat mengharapkan itu.

© jenxclury


Jeno dan Sungchan memeluk tubuh mungil Nara dengan sangat erat, Nara merasa sesak sekarang. Ia menepuk-nepuk pundak Jeno untuk melepaskan pelukannya karena dirinya yang memeluknya begitu erat namun sama sekali tidak digubris oleh Jeno.

“K-kak Jeno.”

“Akhh!”

Nara meringis kesakitan saat lengan Jeno menyenggol lukanya, sangat perih rasanya. Seketika Jeno melepaskan pelukannya dan menatap Nara dengan panik.

“Lo kenapa, Ra? Gue kekencangan, ya, meluknya? Ada yang luka?” ucap Jeno memegang lengan Nara membuatnya meringis kesakitan lagi.

Dengan cepat Jeno menggulung sweater yang digunakan Nara dan terkejut saat melihat luka memar di beberapa titik lengannya. Sungchan dan Mark tak kalah terkejutnya ketika melihat itu, kedua tangannya di penuhi dengan luka memar kebiruan. Jeno menatap Nara kembali.

“Ini kenapa, Ra? Lukanya, kok, kayak habis dipukul gitu. Lo kenapa, Ra? Bilang sama gue,” ucap Jeno yang sudah panik.

“E-engga apa-apa, kok, ini cuma kepentok aja,” Nara berbohong.

“Nggak mungkin kepentok doang sampe kayak gitu, Ra.” kali ini Sungchan yang berbicara.

“Ra, just tell us. Whats happened?” Mark meyakinkan Nara untuk bercerita tentang semuanya, tentang lukanya berasal.

Nara duduk perlahan dan diikuti oleh ketiga kakaknya, posisi dirinya ada ditengah-tengah sekarang. Ia menarik napasnya dalam lalu mulai bercerita.

“Kak Jeno, pas lo mabok waktu itu, gue yang tolongin. Gue yang chat Sungchan buat jemput lo, gak lama kemudian lo pingsan dijalan,” Jeno terkejut ketika mendengar penjelasan Nara begitupun dengan Sungchan dan Mark. Ucapan Jeno waktu itu benar adanya, ia tidak mengada-ada bahwa Nara lah yang membantunya.

“Gue gak tau harus gimana waktu itu, jadinya gue tinggal pas Sungchan udah mulai deket lokasi. Satu sisi gue gak bisa tahan sama bau alkohol, badan lo bau alkohol banget soalnya.”

“Gue gak tau kenapa lo sampe mabok berat waktu itu, cuma..kenapa lo jadi kayak gini? Gue bahkan sering banget liat lo minum-minum,” Jeno mendudukkan kepalanya, ia tahu bahwa ini adalah salahnya. Ia baru teringat jika Nara tidak suka dengan orang pemabuk. Jeno tidak bisa berkata apa-apa sekarang, ia hanya diam mendengarkan Nara berbicara.

“Habis tolongin lo, gue pulang ke kostan. Sampe disana, Ayah mukulin gue karena dia nyium baju gue bau alkohol dan ngira kalo gue habis minum-minum. Dan, ya, ini sebabnya kenapa ada luka ditubuh gue,” jelas Nara. Mark merasa bingung ketika mendengar kata 'Ayah' keluar dari mulut Nara.

“Wait, Ayah? Who is he?”

“Aku tinggal sama Ayah sekarang, Kak, Ayah kandung aku. Honestly, aku belum percaya seratus persen tapi, semua bukti yang dikasih Ayah emang bener adanya.”

“Aku udah ketemu sama Ayah kandung aku,” ucap Nara tersenyum tipis.

“Tapi, Ra. Kenapa lo percaya aja kalo dia bilang kalo 'Ayah' lo itu Ayah kandung lo? Kalo emang bener dia Ayah kandung lo, gak mungkin dia mukulin lo sampe kayak gini,” ucap Sungchan yang kembali menyentuh luka memar dilengan Nara.

Nara melihat luka itu lagi lalu tersenyum tipis, melihat betapa mirisnya dia sekarang.

“But, it's my fault. Aku salah, karena mungkin seharusnya anak perempuan gak boleh mabok-mabokan.”

“Tapi lo gak mabok, Ra. Itu semua karena gue, maaf, gue salah. Gue yang udah buat lo kayak gini, maafin gue, Ra,” Jeno mengelus luka pada lengan Nara, ia benar-benar merasa bersalah. Kalau bukan karena dirinya, Nara tidak akan mendapat luka seperti ini.

“No, its okay. Lukanya udah gak sakit, kok, sebentar lagi juga ilang.”

Jeno terus memperhatikan luka Nara tersebut lalu kembali menatap Nara yang tersenyum kearah ketiga kakaknya. Walau Nara bilang dirinya tidak apa-apa, tapi mereka sangat khawatir dengan kondisi Nara. Terlebih luka itu disebabkan oleh Ayahnya sendiri. Tidak ada seorang Ayah yang tega memukul anak perempuannya sendiri.

Mark bertekad untuk tetap menjaga Nara bagaimanapun caranya, ia tidak mau melihat Nara luka seperti ini terus. Ia meminta nomer HP Nara yang baru agar mudah untuk dihubungi sewaktu-waktu.

Nara terpikirkan sesuatu tentang apa yang ia ingin bicarakan pada ke tiga kakaknya.

“Hm.. Papah Jae gimana?” tanya Nara.

Jeno dan Sungchan menoleh kearah Mark, memberikan isyarat untuk Mark yang menjawab pertanyaan Nara.

“Papah baik-baik aja, kok, Ra. Cuma belakangan ini papah lagi sibuk kerja, sering lembur,” jelas Mark.

“Bahkan sampai gak makan, karena lembur,” Sungchan melanjutkan omongan Mark.

“Kenapa? I mean..papah selalu sarapan dan bawa bekal kalo mau lembur. Apa papah gak sarapan?” tanya Nara lagi. Jujur, dirinya mulai khawatir dengan Jaehyun ketika mendengar penjelasan dari Mark dan Sungchan.

“Papah gak pernah mau sarapan, Ra. Kalo ditanya, pasti jawabnya sarapan di kantor. Minum kopinya juga sering banget, papah cuma mau dibawain roti aja.”

“Papah juga jarang pulang, Ra,” Jelas Sungchan.

Wajah khawatir Nara sangat terlihat jelas, mengapa Jaehyun jadi seperti ini? Dulu Jaehyun selalu membawa bekal jika lembur, apapun makanannya Jaehyun akan bawa itu. Minum kopi juga hanya seperlunya, karena Nara yang mengatur jadwal minum kopi Jaehyun. Namun sekarang, kenapa seperti ini?

“Mamah suka masak?”

“Mamah selalu masak, Ra. Cuma papah selalu minta buat dibawain roti aja, gak mau makan makanan berat.”

“Tapi kalo gitu terus nanti papah bisa sakit, sehari papah minum kopi berapa kali?” nada bicara mulai terdengar sangat khawatir akan Jaehyun.

“Mungkin 8.”

Nara benar-benar terkejut mendengar ucapan Sungchan, ingin rasanya ia berlari menghampiri Jaehyun sekarang, mengomeli papahnya tersebut karena sudah melanggar batas minum kopi sehari 2 kali, dan tidak membawa bekal saat lembur bahkan jarang sarapan. Namun Nara tidak bisa, disatu sisi dirinya belum siap untuk melihat Jaehyun lagi.

Mark mengetahui bahwa Nara sangat khawatir dengan Jaehyun, terlihat dari dirinya yang sangat cemas dan tidak tahu harus berbuat apa.

“Ra, tenang ya, nanti aku bilangin sama papah untuk teratur sarapan sama bawa bekal dan juga jangan sering-sering minum kopi,” ucap Mark menggenggam tangan Nara untuk menenangkannya.

“Atau lo mau pulang aja, Ra, biar lo yang bilang langsung sama papah. Papah cuma nurut apa kata lo, Ra,” ucap Jeno.

Nara terdiam.

Pulang.

Tidak, Nara belum siap.

“I think..i can't. Aku belum siap buat ketemu papah lagi.”

Mark tersenyum tipis mendengar pernyataan Nara, terbukti bahwa Nara masih kecewa dengan Jaehyun. Tidak banyak memang, namun rasa sakit di hati Nara belum sepenuhnya sembuh.

“Its okay, maaf kalo kita gak pernah bilang dari awal tentang masalah dulu. Kita salah, Ra, kita yang udah buat kamu kayak sekarang. Maaf,” Mark mengucapkan kembali kata maaf tentang kejadian dulu. Nara kembali teringat kejadian satu tahun lalu yang dimana, hatinya benar-benar hancur.

Nara tersenyum tipis, “aku udah lupain kejadian itu, Kak. Kalian gak salah, aku yang bersyukur punya kakak yang baik kayak kalian.”

Dengan cepat Nara mengambil ponselnya saat melihat notifikasi pesan masuk dari Ayah yang sudah menyuruh nya untuk pulang. Ia menatap ketiga kakaknya yang mengisyaratkan untuk memberitahu siapa yang mengirimkan pesan padanya.

“Kayaknya aku harus pulang, Ayah udah nyariin. Makasih atas waktunya, aku harap kira bisa ketemu lagi. Jangan cari aku lagi ya, chat me if you need to talk with me.”.

“Aku gak bisa sering-sering ketemu kalian, karena aku punya kehidupan yang aku harus jalanin. Satu lagi, jangan kasih tau papah, ya, kalo kalian ketemu aku. Biar ini jadi rahasia kita berempat aja,” ucap Nara membuat ketiga kakaknya merasa sedih dan enggan untuk melepaskan Nara kembali.

“Ra, lo gak mau pulang sama kita? Ayo, Ra, pulang,” mohon Sungchan.

Nara menggeleng cepat, “untuk sekarang belum bisa, Chan, maaf. Nanti kita ketemu dilain waktu ya. Aku permisi,” Nara meninggalkan mereka yang masih diam terpaku di meja makan restoran tersebut. Waktu benar-benar begitu singkat, mereka hanya ingin terus bersama Nara. Dan mereka belum berhasil untuk membawa Nara pulang.

“Chan, ikutin Nara, dia pulang kemana. Jangan sampe ketahuan,” ucap Mark pada Sungchan.

“Oke, bang.”

© jenxclury


Setelah kurang lebih satu jam setengah, Nara keluar dari gedung les privat tersebut karena jam les nya sudah selesai. Ia akan menuju minimarket tempatnya berkerja karena ia mengambil shift sore hari ini. Ia melihat kembali buku dan alat tulisnya memastikan tidak ada yang tertinggal. Saat dirinya membuka pintu kaca tersebut, tangannya dipegang oleh seorang pria yang menatapnya dengan lekat. Nara terkejut akan hal itu.

“Nara,” panggil pria itu.

Yang dipanggil hanya terdiam kaku tidak tahu harus apa, bahkan bibirnya kelu tak dapat mengeluarkan sepatah kata pun. Pria itu tersenyum lebar menatap Nara, jantung Nara berdebar sangat kencang sekarang.

“Ini beneran Nara, kan?” tanya pria itu.

Nara mulai tersadar dan merasa ini tidak benar, ia mencoba melarikan diri dari sana namun tangannya ditahan kencang oleh pria itu lalu dibawanya ke pelukan pria tersebut.

“I miss you.. i really miss you.”


Nara terduduk diam disebuah kursi makan restoran mahal dengan meremat ujung bajunya. Pria tadi berhasil membawa nya kemari dan Nara sama sekali tidak menolak, namun sekarang suasana nya menjadi canggung.

Pria itu duduk di samping Nara dengan membawa dua minuman, untuk dirinya dan Nara. Ia kembali tersenyum melihat Nara.

Nara sangat merindukan senyuman itu. Senyuman itu dapat ia lihat kembali lagi disini, tepat didepan matanya. Ia berharap ini tidak mimpi.

“Aku pikir tadi aku salah, ternyata beneran kamu. Ra, are you miss me?” pria itu mengelus puncak kepala Nara sampai ujung rambutnya yang pendek, ia benar-benar merindukan Nara.

Nara tersenyum, matanya mulai berkaca-kaca namun ia berusaha untuk tidak menangis sekarang.

“I miss you..so much. Kak Mark, boleh aku peluk lagi?” kali ini Nara tidak bisa menahan air matanya lagi. Pipi Nara sudah deras saat Mark memeluknya dengan erat.

Ya, pria itu adalah Mark.

Mark sudah memperhatikan Nara sejak dirinya masuk kedalam gedung les privat. Ia mengira hanya salah melihat karena tampilan Nara yang sangat berubah, rambutnya pendek dan memakai sweater yang lumayan besar. Namun hatinya benar, itu adalah Nara. Ia benar-benar merindukan Nara, tak pernah sedikitpun dalam dirinya berharap untuk bertemunya Nara dengan kebetulan seperti ini. Tuhan benar-benar mendengarkan doanya selama ini.

Nara benar-benar merindukan pelukan yang diberikan oleh Mark, sekarang ia mendapatkannya kembali. Pelukan yang selalu membuatnys nyaman, hingga sekarang. Ia memeluk Mark dengan erat, tidak peduli dengan luka pada seluruh tubuhnya ketika Mark menyenggol luka tersebut. Ia tidak memikirkan itu sekarang, ia hanya ingin waktunya bersama Mark tidak cepat berlalu.

“Aku gak pernah nyangka kalo ketemu kamu, karena selama ini aku terus cari kamu tapi hasilnya nihil.”

“Tuhan baik sama aku ya, Ra. Aku seneng bisa ketemu lagi sama kamu,” lanjut Mark. Rasa rindu yang Mark rasa kali ini sudah terbayarkan, dirinya dapat melihat Nara kembali, dapat memeluk Nara kembali. Tuhan benar-benar sayang padanya, Tuhan mendengarkan semua doanya.

Mark hanya ingin memeluk Nara terus seperti ini, ia tidak ingin Nara meninggalkannya lagi. Semoga Tuhan mendengarkan doanya kali ini.

© jenxclury