jenxclury


“Karalyn?”

Aku menoleh ke arah sumber suara. Aku terkejut sekaligus terdiam melihat siapa yang datang dan memanggil namaku itu. Cukup lama aku menatapnya sampai akhirnya seorang pria di depanku melayangkan senyuman indah yang baru saja aku lihat, lagi.

Aku menundukkan kepala malu. Aku merasakan pipiku mulai memanas.

“Kairo?”

Pria bernama Kairo itu tertawa, entah karena aku memanggil namanya atau ada hal lucu lainnya yang membuat pria tinggi dengan leather jacket hitam miliknya tertawa.

“Muka lo lucu,” ucapnya terkekeh kecil.

Aku menggaruk tengkukku yang tidak gatal itu. Sialan, baru saja bertemu aku sudah diserang dengan kalimatnya yang membuat hati ku semakin tak karuan.

“Duduk,” aku mempersilakannya duduk di samping ku.

Tangan ku semakin keringat dingin, jantung yang terus berdetak kencang. Aku semakin sulit untuk mengendalikan perasaan ku apalagi saat pria di depan ku menatap intens sembari tersenyum. Ah tidak bisa, wajah ku sudah memerah sekarang.

“Ternyata lo jadi pendiem, ya, sekarang. Kayaknya semalem di chat nggak gini, deh,” Kairo kembali berucap.

Gue jadi pendiem gini ya karena lo Kairo. Bisa gak, sih, jangan nyerang gue kayak gini?

Not at all, gue nggak nyangka aja lo datengnya cepet. Biasanya juga, kan, lama sampe tiga puluh menit gue nunggu lo,” balasku. Itu memang benar adanya. Dulu, saat kami masih memiliki hubungan, aku selalu yang menunggunya lebih dulu. Kadang aku sampai bosan dan meninggalkannya begitu saja.

Cause i'm too excited to meet you. It's been a long time, right? Lo juga bilang kalo lo kangen sama gue jadi, ya, sebisa mungkin gue dateng cepet.”

Dia belum menyelesaikan kalimatnya.

And i miss you more than you miss me,” kalimat selanjutnya membuat ku merinding merasakan gejolak dalam hati ku. Wajahnya mendekat dan sedikit berbisik padaku, aku benar-benar gila dibuatnya.

So, what's the answer?” ucapnya lagi.

Aku terdiam sebentar, jawaban tentang apa? Entah mengapa aku menjadi lupa apa yang akan aku ucapkan setelahnya. Kairo, laki-laki itu benar-benar gila.

About what?

Wajahnya menjauh dari ku lalu tersenyum. Pandangannya tak lepas dari mata ku.

Would you be mine again? Dan lo akan jawab kalo gue pulang ke Indonesia. And i'm here right now, i need your answer.”

Would you?

Aku menundukkan kepala lagi. Entah mengapa aku sangat takut untuk menjawab pertanyaannya walaupun aku sudah tahu jawabannya.

I don't think so. Gue nggak tau kenapa gue jadi takut sekarang.”

About what?

About us. Gimana kalo nanti endingnya tetep sama? And we were like this. It's good to be friends but how if we were become a strangers? I don't even thinking about that,” ucapku dengan rasa takut yang terus menyelimuti.

Ini kali kedua kita akan memulai hubungan dan aku sudah mendapatkan jawaban atas pertanyaan Kairo namun aku begitu takut dengan akhir cerita yang mungkin akan sama. Akhir cerita yang mungkin akan menjadi akhir yang paling tidak bahagia. Aku sangat takut itu.

“Karalyn, listen to me,” ia menangkup wajah ku agar aku menatapnya.

“Kalau dulu mungkin iya, tapi kita udah lebih dewasa sekarang. We weren't become strangers cause i will hold you tight no matter what. Kita bisa menjalani semuanya bersama dan lebih terbuka satu sama lain. I'll never let you go again.

I promised ... We promised,”

Aku hampir saja menitikkan air mata ku. Hati ku mulai merasa tenang sekarang saat Kairo meyakinkan ku untuk tetap bersama dan menjalani semuanya dalam genggaman tangan. Mungkin Kairo benar, semua akan baik-baik saja jika kita saling terbuka. Itu seperti yang aku harapkan.

So, i'll ask you again,” ia menggenggam tangan ku erat dan menatapku dalam.

“Karalyn, would you be mine?” Kata-katanya berhasil menghipnotis ku.

I would,” saat itu juga senyuman lebar terukir di bibir Kairo. Pria itu mencium tangan ku lalu memeluk ku dengan hangat.

Aku menyamankan kepala ku di pundaknya sembari tersenyum. Ternyata, semuanya tidak sesulit yang aku pikirkan. Kami masih memiliki harapan yang sama dan akan selalu begitu. Aku juga tidak terlalu khawatir akan akhir cerita semua ini karena aku ada bersama Kairo sekarang dan mungkin selamanya.

© jenxclury


“Sus, Papah kapan pulang? Issa udah kangen sama Papah.” Gadis kecil bernama Charissa itu terus menerus menanyakan keberadaan Andrew yang tak kunjung pulang. Sudah beribu alasan Nadira berikan pada Charissa namun tidak membuatnya berhenti untuk menanyakan Papahnya.

Nadira tersenyum kecil lalu mengusap surai hitam milik Charissa, “Papah hari ini lembur, sayang. Issa bobo duluan aja, ya, Sus Nadira temenin,” ucap Nadira lembut.

Sudah tiga puluh menit yang lalu sejak Andrew mengirimkan pesan pada Nadira bahwa ia pulang larut malam agar kedua anaknya tidak khawatir dan menunggunya pulang.

“Issa ngantuk, Sus, tapi Issa mau nunggu Papah pulang,” ucap Charissa mengerucutkan bibirnya.

“Tadi Papah bilang sama Sus katanya Issa bobo duluan aja nggak apa-apa, Papah nanti pulang, kok,” jelas Nadira lagi. Charissa pun mengangguk pelan.

“Sekarang bobo, ya, tadi udah sikat gigi, kan?”

“Udah, Sus!”

“Pintar!”

Nadira menutupi setengah tubuh Charissa dengan selimut tebal berkarakter Frozen kesukaannya. Mengusap surai hitam milik Charissa lagi lalu mengecup keningnya. Tak lama kemudian mata Charissa pun terpejam sempurna. Nadira beranjak dari kasur Charissa lalu mematikan lampu kamarnya, hanya lampur tidur yang terletak di meja nakas saja yang menyala untuk menerangi ruangan. Nadira tersenyum sebelum menutup pintu kamar Charissa yang sudah tertidur lelap.

Nadira berjalan menuju kamar Zio yang sedari tadi sedang mengerjakan PR nya. Apakah ia sudah selesai? Nadira mengetuk pintu terlebih dahulu sebelum membuka pintu kamar kayu berwarna putih itu dan memunculkan kepalanya dibalik pintu—melihat Zio masih setia duduk di kursi belajarnya.

“Zio, boleh Sus masuk?” tanya Nadira.

Zio menoleh ke arah sumber suara, “Iya.” Ia kembali berkutat dengan kertas dan pensil di sana.

Nadira berjalan perlahan menghampiri Zio yang masih fokus mengerjaakn PR nya lalu mengusap pundak Zio pelan.

“Masih ngerjain PR, ya? Mau Sus bantuin nggak?” tanya Nadira.

“Nggak usah. Aku bisa sendiri,” jawabnya singkat tanpa menoleh ke arah Nadira.

Nadira tersenyum singkat, sikap Zio terhadapnya masih sangat kaku bahkan Zio masih belum mau membuka dirinya. Segala cara Nadira lakukan untuk membuat anak laki-laki berumur 6 tahun ini luluh padanya namun tidak semudah itu, tapi itu tidak akan membuat Nadira menyerah untuk meluluhkan hati Zio.

“Papah belum pulang, Sus?” tanya Zio.

“Belum, sayang. Papah hari ini lembur,” balas Nadira.

Tak ada jawaban lagi dari Zio, mata Nadira teralihkan ke seluruh kamar yang tidak terlalu besar dengan dinding berwarna biru tua, terdapat satu lemari kaca besar berisikan mainan milik Zio yang tertata rapih di sana. Nadira kembali tersenyum saat melihat foto keluarga kecil—Andrew, Zio dan Charissa. Mereka tersenyum manis dalam figura tersebut membuat hati Nadira melebur.

“Selalu lembur, kapan Papah punya waktu buat aku sama Issa?” gumam Zio kecil namun masih dapat didengar oleh Nadira.

Nadira menoleh lalu mendekat ke arah Zio, ia mendudukkan dirinya di sisi sebelah kanan kasur milik Zio sebelum kembali berucap. “Papah pasti punya waktu buat kamu dan Issa. Papah juga kerja, kan, buat Zio sama Issa,” ucap Nadira tersenyum.

“No, Papah kerja cuma untuk cari uang buat aku sama Issa, tapi aku nggak butuh uang, Sus. Aku cuma butuh Papah disini, temenin aku sama Issa,” lagi dan lagi jawaban Zio membuat Nadira terdiam kaku. Entah kenapa hatinya teriris ketika mendengar kata-kata itu terucap dari mulut Zio, seorang anak laki-laki berumur 6 tahun yang seharusnya tidak mengucapkan itu.

Nadira menduga bahwa ada sesuatu antara keluarga ini terutama dengan Zio, si anak pendiam dan selalu tertutup. Namun Nadira cukup tahu diri, ia hanyalah pendatang baru di rumah ini. Sangat tidak mungkin untuknya ikut campur dalam masalah yang ada dalam keluarga ini.

Ia menatap Zio dalam, tidak ada air mata yang keluar menyusuri pipi tembamnya. Ekspresi wajah datar yang selalu sama setiap hari Nadira lihat menjadi pemeran utama dalam diri Zio. Tidak ada senyuman, tidak terlihat kegembiraan di sana.

“Are you okay?” tanya Nadira pelan. Saat itu juga tangan Zio yang sedari tadi mencorat-coret kertas asal berhenti. Napasnya berderu kencang saat Nadira mengucapkan itu, air matanya hampir keluar membasahi pipi namun masih dapat ia tahan. Yang ada hanya anggukan kecil sebagai simbol bahwa dirinya baik-baik saja. Supaya Nadira percaya.

Nadira mengusap surai hitam milik Zio lalu berkata, “Papah sayang banget sama Zio dan Issa, sebisa mungkin pasti Papah selalu menyempatkan waktu untuk main sama kalian.”

“Zio jangan sedih, kan, ada Sus Nadira yang nemenin Zio sama Issa main,” ucapnya lagi.

Tak ada jawaban lagi dari Zio, mata Nadira teralihkan ke seluruh kamar yang tidak terlalu besar dengan dinding berwarna biru tua, terdapat satu lemari kaca besar berisikan mainan milik Zio yang tertata rapih di sana. Nadira kembali tersenyum saat melihat foto keluarga kecil—Andrew, Zio dan Charissa yang berada di meja belajar Zio. Mereka tersenyum manis dalam figura tersebut yang membuat hati Nadira melebur. Tangannya terangkat saat melihat satu figura dengan posisi terbalik, niat hati ingin membenarkan posisi figura tersebut namun lebih dulu ditahan oleh Zio.

“Jangan sentuh barang Zio,” ucap Zio menatap Nadira dingin.

“O-oh nggak, Sus cuma mau benerin posisinya aja. Tapi, kok, fotonya terbalik gitu, ya?” tanya Nadira.

“Sus Nadira nggak perlu tau. Sus Nadira bukan siapa-siapa di rumah ini,” ketus Zio lalu beranjak dari kursinya dan berbaring di kasur, menutup seluruh tubuhnya dengan selimut.

Jleb.

Rasanya Nadira ingin berlari sekencang mungkin. Sudah banyak yang cara yang ia lakukan namun kehadirannya masih tak diterima oleh Zio. Kenapa begitu sulit untuk meluluhkan hati seorang anak kecil? Padahal dirinya sudah belajar sedikit tentang bagaimana menjaga anak dengan baik lewat internet yang selalu ia cari setiap malam sebelum tidur. Ia senang jika beradaptasi dengan anak kecil namun tidak tahu akan sesulit ini.

Tidak. Ia tidak boleh menyerah begitu saja hanya karena kehadirannya belum diakui namun dirinya sudah dibayar besar oleh Andrew. Nadira akan memberikan yang terbaik sebagai pengasuh di rumah ini. Nadira menghembuskan napas pelan lalu beranjak mematikan lampu kamar Zio sebelum ia keluar.

© jenxclury


“Berhentiin, gak, mobilnya? Lo lancang banget!” teriak Isla.

“Ini mobil punya lo, kan? Gue pinjem dulu,” balasnya singkat. Kaki kanannya menginjak pedal gas yang membuat mobil itu melaju sangat cepat, lagi-lagi Isla terkejut.

“Bisa pelan-pelan, gak? Lo mau ngajak gue mati, hah?!” omel Isla. Lagi-lagi pria itu tak mendengarkan Isla, ia hanya fokus menatap jalan bahkan ia tidak tahu harus kemana. Yang penting ia jauh dari jangkauan pria bertubuh besar tersebut.

Sedangkan Isla tidak bisa berkata-kata lagi, matanya terpejam, tidak sanggup untuk melihat jalanan. Bayangan dalam otaknya yang membuatnya berpegangan sangat erat. Bagaimana jika mobil ini menabrak sesuatu? Bagaimana kalau dirinya tidak sela—Ah tidak. Ia tidak boleh berpikiran seperti itu.

Terdengar suara lenguhan napas lega dari pria disampingnya dan juga ia merasakan laju mobil ini tidak terlalu cepat, Isla pun membuka matanya.

Sorry bikin lo panik, tapi gue beneran nggak ada niat jahat. Gue lagi dikejar-kerjar orang,” jelasnya.

“Makanya lo kalo punya utang, tuh, dibayar. Malah kabur,” ucap Isla dengan sinis.

“Enak aja bilang gue punya utang! Gue, nih, artis. Ya kali ngutang,” balas pria itu ketus. Ia sangat tidak terima akan ucapan Isla tadi.

Isla tertawa keras saat mendengar balasan pria tersebut, “Kalo lo emang artis, gue bakalan laporin semua skandal lo hari ini.”

“Ngambil mobil orang tanpa izin, kebut-kebutan, punya utang, terakhir, lo memalsukan identitas. Udah nggak usah bohong, deh,” kata Isla sembari tangannya seperti menghitung semua kesalahan pria itu.

Pria itu menganga tak percaya dengan ucapan Isla. Ia benar-benar seorang artis, bahkan namanya selalu terpampang jelas di segala macam media massa.

Suasana hening seketika, Isla rasa pria itu memang pembohong maka dari itu ia tidak bisa berkata-kata lagi. Pria itu menepikan mobil hitam milik Naka di pinggir jalan lalu menatap Isla sebelum ia keluar dari mobil.

“Gue emang salah bawa mobil lo tanpa izin terus kebut-kebutan, tapi gue sama sekali nggak punya utang apalagi memalsukan identitas.”

“Nih, gue akan ganti rugi semuanya, tapi kalo dipikir-pikir gue nggak ngerugiin lo, sih,” pria itu memberi sebuah kartu pada Isla lalu keluar dari mobil itu.

“Lo hampir bikin nyawa gue ilang, ya!” teriak Isla dari dalam mobil.

Isla melihat kartu yang diberi oleh pria tadi namun kartu itu bukanlah kartu nama melainkan kartu pelajar sekolah menengah. Nama pria itu bercetak bold terpampang jelas disana, Melka Kahfsa dan terdapat alamat rumahnya juga.

“Masih SMA aja belagu lo, Dek,” gerutu Isla yang melihat punggung Melka mulai menjauh.

'Tok tok!'

Isla terkejut kala suara ketukan dari kaca mobilnya, ia sudah panik jika ada orang jahat yang menghampiri mobil namun ternyata itu adalah Naka dan Bian.

Dengan cepat Isla keluar dari dalam mobil dan menghampiri mereka.

“Lo nggak apa-apa, La?” tanya Naka dengan wajah paniknya.

Bian melihat ke dalam mobil seperti mencari sesuatu, “Mana orang yang bawa mobil tadi, La? Kok ada?” ucapnya.

“Untungnya gue nggak apa-apa, orangnya udah pergi, dia juga nggak ngapa-ngapain gue,” jelas Isla.

“Syukur, deh, tapi tadi itu orang beneran?” pertanyaan yang dilontarkan dari mulut Bian membuat Isla menghela napasnya.

“Yaiyalah, kalo bukan orang, terus siapa yang bawa ni mobil,” jawab Isla.

“Ya, bisa aja gitu, hantu atau orang gila,” tambahnya.

“Udah, nggak usah dibahas lagi. Kita balik aja, kasian Jian nungguin,” kata Naka lalu masuk kedalam mobil yang diikuti oleh Isla. Sedangkan Bian berjalan menuju motornya lalu mereka pergi dari sana.

© jenxclury


Mata gadis itu menyalang mencari alamat kafe yang tertera dilayar ponselnya. Kakinya melangkah menyusuri bermacam-macam toko dijalan itu. Langkahnya terhenti saat membaca spanduk besar tepat didepan kafe tersebut. Rosé Coffeshop. Ia menemukannya.

Ia membuka pintu kafe tersebut lalu berjalan kecil mencari seseorang yang saling mengirim pesan beberapa menit lalu. Layar ponselnya tak lagi menampilkan alamat kafe melainkan sebuah foto pria tampan dengan jas hitam yang melekat ditubuhnya.

Gadis itu sedikit terjinjit untuk mencari pria tersebut sampai akhirnya ia menemukannya. Tepat dimeja paling pojok seorang pria tak lepas dari ponselnya, ia memberanikan diri untuk menghampiri pria tersebut.

“Mas Andrew?” sang empunya mengangkat kepalanya.

Mata mereka saling bertemu. Persis seperti difoto bahkan terlihat lebih tampan aslinya.

Pria bernama Andrew itu mengernyitkan keningnya, “Nadira?” ucapnya. Gadis is mengangguk lalu tersenyum.

Itu Nadira. Sesuai janjinya ia akan datang ke kafe ini untuk menemui pria didepannya. Ia memanggilnya dengan sebutan Mas Andrew.

“Silakan duduk, kamu mau pesan apa?” Andrew mempersilakan Nadira duduk.

“Bolehkah?” tanya Nadira untuk meyakinkan.

Andrew mengangguk kecil, “saya yang akan bayar.”

Nadira tersenyum lalu mengambil buku menu tersebut. Butuh beberapa waktu untuk memilih menu dan ia hanya memesan satu Ice Lemontea karena tidak mungkin ia memesan makanan yang mana akan dibayar oleh orang yang ia baru saja ia kenal.

Manusia di muka bumi ini sangat sulit untuk dipercaya.

“Saya bisa mulai pembicaraan kita?” ucap Andrew yang baru saja menyesap kopi americano miliknya.

“Bisa, Mas.”

“Nama kamu Nadira Gabriella, betul?”

“Betul, Mas.”

“Umur berapa? Status kamu apa?” tanya Andrew santai.

“Saya umur 22 tahun, Mas. Kebetulan saya masih single,” jawab Nadira enteng.

Andrew terdiam sebentar. “No, i mean... Kamu kuliah atau pernah kerja dimana,” ucapnya lagi.

Malu. Nadira sangat malu.

“A-ah.. Saya mahasiswa aktif Fakultas Ilmu Pendidikan, Mas,” ucap Nadira.

Andrew mengubah posisinya, “Lalu bagaimana bisa kamu menjaga anak saya jika status kamu masih mahasiswa aktif?” ucapnya.

“Itu yang saya mau omongin juga, Mas, kalau boleh saya mau ambil part time saja.”

Jujur saja, Nadira sedikit takut untuk membicarakan soal ini. Ia tahu ini terkesan tidak sopan tapi ia sangat menginginkan pekerjaan ini, hanya untuk mengisi waktu luang. Walau sebenarnya ia juga disibukkan oleh tugas kuliah.

“Kalau boleh saya tau, mengapa kamu memilih pekerjaan ini? Kamu bisa saja kerja part time di toko atau kafe.”

Pertanyaan Andrew membuat Nadira terdiam sebentar lalu tersenyum kecil sebelum menjawabnya.

“Saya punya beberapa alasan, Mas. Pertama, saya memang suka anak kecil. Kedua, saya senang saat saya bisa menjaga mereka dan bermain bersama tentunya. Ketiga, saya nggak suka kerja part time di toko atau kafe, Mas,” jelas Nadira.

“Alasannya?” pertanyaan Andrew ini untuk alasan Nadira yang ketiga.

“Nggak suka aja, Mas, capek,” Nadira terkekeh.

Aneh, banyak anak muda seumuran Nadira yang lebih memilih bekerja part time di toko atau kafe ketimbang mengurus anak kecil. Itu sangat merepotkan, bukan?

Andrew mengangguk paham.

“Begini, saya seorang single parents, saya tidak bisa memperhatikan kedua anak saya sebab selalu sibuk dengan pekerjaan.”

“Maka dari itu, saya mencari babysitter yang bisa memperhatikan mereka 24 jam,” ucap Andrew.

Nadira menundukkan kepalanya. Ia tidak berkutik, sepertinya ia sudah salah mengambil pekerjaan ini. Karena ia tahu ia tidak mungkin bisa menjaga mereka 24 jam, ia juga harus kuliah.

“Atau dengan pilihan lain, kamu bisa tinggal di rumah saya,” lanjutnya.

Atau mungkin tidak.

Nadira mengangkat kepalanya kembali tertegun akan ucapan Andrew. Telinganya tidak salah mendengar, itu sangat jelas terlontar dari mulut Andrew.

Haruskah? Bagaimana dengan pandangan orang lain nanti jika seorang perempuan kepala 2 tinggal bersama dengan seorang duda? Sangat mencurigakan.

Ah tidak, itu tidak boleh terjadi. Bagaimana jika Andrew tidak sebaik yang ia kira? Tampangnya memang meyakinkan namun ia tidak tahu dengan sifat aslinya.

“Hm.. Apa boleh say-

“Sebentar, sebelum kamu jawab, saya mau memberitahu sedikit tentang anak saya,” Andrew menampilkan sebuah foto dua anak kecil sedang tersenyum lebar.

“Ini anak saya yang cowok, namanya Zio. Umurnya masih 6 tahun, sebentar lagi ia akan masuk sekolah dasar. Ia anaknya penurut walau kadang suka membangkang tapi ia sangat menyayangi adiknya.”

Nadira terlihat sangat antusias saat Andrew menceritakan tentang anaknya. Mereka benar-benar terlihat sangat menggemaskan.

“Yang ini Charissa, umurnya 4 tahun. Ia sudah pintar berbicara dan menyanyi, sayangnya, ia sedikit sensitif. Sebab itulah Charissa lebih sering menangis,” jelas Andrew.

“Bagaimana? Kamu tertarik?” tanya Andrew berusaha meyakinkan Nadira.

“Saya tidak meminta kamu untuk jawab sekarang, saya kasih waktu kamu untuk mempertimbangkan semuanya,” ucap Andrew lagi.

“Maaf, Mas, sebelumnya saya mau bertanya. Apa Mas Andrew percaya sama saya?”

Andrew tertawa kecil mendengar pertanyaan Nadira.

“Bisa aja saya macem-macem kalo nanti saya sudah berkerja dengan Mas Andrew, ya, karena kita baru kenal beberapa menit yang lalu, bisa aj-

“Saya percaya sama kamu.”

Mulut Nadira mengatup sempurna. Lagi-lagi Andrew membuatnya diam tak ada alasan.

“Sejak awal we're talking each other, saya bisa lihat kamu orang yang tulus. Thats all,” jawab Andrew singkat.

“Sudah lebih dari 10 orang yang datang kemari dan saya sudah duduk dibangku ini selama 1 jam lebih namun saya belum bisa menemukan yang pas.”

“Karena mereka terlihat tidak tulus,” kata Andrew.

Nadira sedikit tercengang mendengar ucapan Andrew sekaligus berdecak kagum bahkan ia menyeleksi semuanya sendirian.

“Kamu bisa hubungi saya jika setuju, saya akan memberikan kontrak perjanjiannya,” ucap Andrew.

Nadira mengangguk lalu tersenyum, “Baik, Mas, saya akan pertimbangkan terlebih dahulu.”

Benar, Nadira harus memikirkan ini matang-matang dan juga ia akan menanyakan pendapat sahabatnya.


tw // blood cw // harsh word, fight


Deruan mesin motor ninja terdengar dari kejauhan seorang pria menoleh ke arah sumber suara dengan seringai dibibirnya. Ia membuang nikotin itu lalu menginjaknya sampai hancur. Pria itu menghampiri seseorang yang memarkirkan motor ninjanya di pinggir lapangan.

Pria jangkung itu membuka helmnya lalu berjalan menghampiri pria berkulit tan yang berdiri disana. Mereka saling bertukar pandang.

“Oh, lo dateng juga? Kirain nggak bakal dateng,” ucapnya. Pria tinggi itu tertawa kecil mendengar ucapan orang yang ada didepannya.

“Ian, ian … gue nggak cupu kayak lo,” balas si pria tinggi. Dia Jevan.

Ian dan Jevan berada di lapangan luas dekat sekali dengan tempat tongkrongan mereka. Jevan menerima tantangan Ian untuk datang ke tempat ini dan bertemu dengannya. Entah apa yang akan Ian lakukan tetapi ia yakin, keduanya pulang dengan luka lebam diwajah.

Jevan bahkan tidak peduli, ia benar-benar muak dengan tingkah Ian selama ini yang terus-menerus menyakiti Naya.

“Ngapain aja lo semalem sama Naya?” tanya Ian pada Jevan.

“Oh salah, seharusnya pertanyaan gue bukan itu. Seneng, gak, abis pake cewe gue?” tengil Ian.

Jevan mencoba menahan amarahnya yang semakin lama memuncak saat Ian mengucapkan kata itu. Bagaimana bisa ia berpikir seperti itu? Secara tidak langsung Ian merendahkan wanitanya sendiri.

“Gampang banget mulut lo bilang gitu? Bahkan lo nggak tau yang sebenernya gimana,” ucap Jevan. Wajahnya sudah merah padam, ia tidak bisa menahannya lagi kali ini.

“Emang bener, kan? Gue tau persis kelakukan lo, Jev. Nggak usah ngelak,” ketus Ian.

“Bangsat!”

Satu tinjuan berhasil Jevan layangkan tepat dipipi kiri Ian yang tersungkur ke tanah dan meringis kesakitan. Jevan meraih kerah Ian lalu mencengkeramnya erat.

“Gue sama sekali nggak pernah ngelakuin itu ke Naya! Dan lo seharusnya nggak merendahkan Naya kayak gitu!” Jevan terjatuh saat Ian menendang bagian perutnya.

Ian merapikan bajunya yang sedikit berantakan lalu meraih kerah kemeja Jevan dan menatap Jevan tajam.

“Gue nggak butuh bukti, Jev, itu udah kelakuan lo sehari-hari dan dugaan gue nggak pernah salah,” ucap Ian pede.

“Oh iya? Dugaan gue juga nggak salah, dong, kalo lo semalem have fun sama Vania?” Jevan menatap Ian nyalang.

“Lo nggak pantes buat Naya, Yan,” ucapnya lagi.

“Bacot! Jangan samain gue sama lo!”

Ian menghujam wajah Jevan berkali-kali karena emosinya yang sudah meluap seperti api. Wajah Jevan terlempar kesana-kemari menerima hujaman dari Ian.

Jevan menendang Ian yang terpental jauh, Jevan pun bangkit dan membalas Ian dengan dua tinjuan di pipi kanan dan perut. Ian meringis kesakitan namun tidak sampai disitu, Ian terus membalas begitupun dengan Jevan.

Keduanya tidak ada yang ingin berhenti, mereka sama-sama tersulut emosi dan tidak akan pernah berhenti. Naya yang baru saja sampai di tempat itu segera menghampiri mereka yang bertengkar hebat. Benar saja dugaannya mereka sudah bertumbuk badan sudah lebih dari 10 menit tadi.

“Ian! Jevan, stop!” teriak Naya namun tak memberhentikan keduanya.

Naya menarik tubuh Ian agar menjauh dari Jevan. “Jevan, stop!” Jevan berhenti saat mendengar suara Naya namun matanya tetap menatap Ian.

“Lo berdua apa-apaan, sih?! Kayak anak kecil, tau, gak!” omel Naya.

Ian mencengkeram lengan Naya lalu menatapnya. “Bilang sama gue, Nay, lo diapain sama bajingan itu?” ucap Ian menatap Jevan sekilas.

“Gue nggak di apa-apain, Yan. Tadi gue juga udah bilang sama lo, kan,” balas Naya.

“Sekarang pulang, nggak ada gunanya lo berantem kayak gini,” ucapnya lagi.

Naya memperhatikan wajah Ian yang penuh dengan luka lembab, ia meringis. Itu pasti sangat sakit.

“Jangan bohong sama gue, Nay, bilang sama gue biar bajingan itu gue habisin!” perintah Ian.

“Ian stop! Jevan nggak apa-apain gue. Kita pulang sekarang.” Naya menarik lengan Ian untuk pergi bersamanya. Ia tetap menatap Jevan nyalang.

Jevan menyengka darah disudut bibirnya. Seluruh wajah sampai tubuhnya terasa sakit, tangannya pun merah dan sedikit mengeluarkan darah akibat tinjuan yang ia berikan pada Ian tadi.

Jevan berjalan tertatih menuju motornya, ia menghela napasnya kasar lalu memakai helmnya kembali. Perasaannya terasa lega karena sudah menyalurkan amarahnya pada Ian. Sudah lama ia menunggu masa ini, memberi Ian pelajaran.


“Argh! Pelan-pelan, Nay.” Naya mengusap sudut bibir Ian yang terus mengeluarkan darah dengan kapas yang dibasahi dengan alkohol.

“Ini udah pelan, Yan. Tahan aja.”

“Gue nggak suka, ya, lo gini lagi. Bisa percaya aja, gak, sama gue? Gue nggak macem-macem sama Jevan,” jelas Naya.

“Gue nggak percaya sama Jevan, Nay. Gue tau dia gimana.” Naya menaruh obat medis di meja nakas lalu menatap Ian dalam.

“It’s okay lo nggak percaya sama Jevan, gue nggak maksa. Tapi yang jelas kita nggak seperti yang lo pikirin,” ucap Naya.

Naya bangkit dengan membawa kotak obat tersebut untuk menaruhnya kembali. Langkahnya terhenti saat Ian menahan tangannya.

“Soal yang semalem gue min—” belum sempat Ian meneruskan kalimatnya Naya sudah lebih dulu memotong ucapannya.

“Lupain, gue nggak mau bahas itu. Gue butuh waktu sendiri dulu.”

“Nih, kotak obatnya gue taro tempat biasa. Biar lo gampang nyarinya,” ucapnya lagi.

“Lo yang rawat gue aja, bisa?” Naya terdiam sebentar ketika mendengar ucapan Ian. Apakah ia sedang merayunya saat ini?

“Minta tolong aja sama Van—”

“Gue maunya lo, Nay,” lirih Ian.

“Gue tau gue salah tapi tolong rawat gue, Nay,” ucapnya lagi.

Naya menghembuskan napasnya pelan. Jika dilihat memang kondisi Ian sangat mengenaskan. Wajahnya penuh dengan luka lebam, perutnya masih terasa sakit dan juga kakinya sulit berjalan karena kena tendangan oleh Jevan.

Naya mengangguk pelan, Ian tersenyum senang lalu merengkuh pinggang ramping Naya. Ia menyamankan kepalanya di tengkuk Naya, menghirup parfum vanilla khas Naya.

“Ian, don’t do this.” Naya mencoba melepaskan pelukan Ian namun tidak bisa. Ian semakin mempererat pelukannya.

“Sebentar aja, Nay, I wanna charge my energy,” ucapnya.

Naya terdiam pasrah dan membiarkan Ian memeluknya. Sebenarnya banyak sekali yang ia tanyakan pada Ian namun ia tidak mau mencari keributan. Hatinya masih terasa sakit akan semalam, ia benar-benar kecewa dengan Ian. Biarkan saja seperti ini, setidaknya pelukan Ian membuatnya sedikit lega.

© jenxclury

cw // harsh word, fight, mention of blood


Deruan mesin motor ninja terdengar dari kejauhan seorang pria menoleh ke arah sumber suara dengan seringai dibibirnya. Ia membuang nikotin itu lalu menginjaknya sampai hancur. Pria itu menghampiri seseorang yang memarkirkan motor ninjanya di pinggir lapangan.

Pria jangkung itu membuka helmnya lalu berjalan menghampiri pria berkulit tan yang berdiri disana. Mereka saling bertukar pandang.

“Oh, lo dateng juga? Kirain nggak bakal dateng,” ucapnya. Pria tinggi itu tertawa kecil mendengar ucapan orang yang ada didepannya.

“Ian, ian … gue nggak cupu kayak lo,” balas si pria tinggi. Dia Jevan.

Ian dan Jevan berada di lapangan luas dekat sekali dengan tempat tongkrongan mereka. Jevan menerima tantangan Ian untuk datang ke tempat ini dan bertemu dengannya. Entah apa yang akan Ian lakukan tetapi ia yakin, keduanya pulang dengan luka lebam diwajah.

Jevan bahkan tidak peduli, ia benar-benar muak dengan tingkah Ian selama ini yang terus-menerus menyakiti Naya.

“Ngapain aja lo semalem sama Naya?” tanya Ian pada Jevan.

“Oh salah, seharusnya pertanyaan gue bukan itu. Seneng, gak, abis pake cewe gue?” tengil Ian.

Jevan mencoba menahan amarahnya yang semakin lama memuncak saat Ian mengucapkan kata itu. Bagaimana bisa ia berpikir seperti itu? Secara tidak langsung Ian merendahkan wanitanya sendiri.

“Gampang banget mulut lo bilang gitu? Bahkan lo nggak tau yang sebenernya gimana,” ucap Jevan. Wajahnya sudah merah padam, ia tidak bisa menahannya lagi kali ini.

“Emang bener, kan? Gue tau persis kelakukan lo, Jev. Nggak usah ngelak,” ketus Ian.

“Bangsat!”

Satu tinjuan berhasil Jevan layangkan tepat dipipi kiri Ian yang tersungkur ke tanah dan meringis kesakitan. Jevan meraih kerah Ian lalu mencengkeramnya erat.

“Gue sama sekali nggak pernah ngelakuin itu ke Naya! Dan lo seharusnya nggak merendahkan Naya kayak gitu!” Jevan terjatuh saat Ian menendang bagian perutnya.

Ian merapikan bajunya yang sedikit berantakan lalu meraih kerah kemeja Jevan dan menatap Jevan tajam.

“Gue nggak butuh bukti, Jev, itu udah kelakuan lo sehari-hari dan dugaan gue nggak pernah salah,” ucap Ian pede.

“Oh iya? Dugaan gue juga nggak salah, dong, kalo lo semalem have fun sama Vania?” Jevan menatap Ian nyalang.

“Lo nggak pantes buat Naya, Yan,” ucapnya lagi.

“Bacot! Jangan samain gue sama lo!”

Ian menghujam wajah Jevan berkali-kali karena emosinya yang sudah meluap seperti api. Wajah Jevan terlempar kesana-kemari menerima hujaman dari Ian.

Jevan menendang Ian yang terpental jauh, Jevan pun bangkit dan membalas Ian dengan dua tinjuan di pipi kanan dan perut. Ian meringis kesakitan namun tidak sampai disitu, Ian terus membalas begitupun dengan Jevan.

Keduanya tidak ada yang ingin berhenti, mereka sama-sama tersulut emosi dan tidak akan pernah berhenti. Naya yang baru saja sampai di tempat itu segera menghampiri mereka yang bertengkar hebat. Benar saja dugaannya mereka sudah bertumbuk badan sudah lebih dari 10 menit tadi.

“Ian! Jevan, stop!” teriak Naya namun tak memberhentikan keduanya.

Naya menarik tubuh Ian agar menjauh dari Jevan. “Jevan, stop!” Jevan berhenti saat mendengar suara Naya namun matanya tetap menatap Ian.

“Lo berdua apa-apaan, sih?! Kayak anak kecil, tau, gak!” omel Naya.

Ian mencengkeram lengan Naya lalu menatapnya. “Bilang sama gue, Nay, lo diapain sama bajingan itu?” ucap Ian menatap Jevan sekilas.

“Gue nggak di apa-apain, Yan. Tadi gue juga udah bilang sama lo, kan,” balas Naya.

“Sekarang pulang, nggak ada gunanya lo berantem kayak gini,” ucapnya lagi.

Naya memperhatikan wajah Ian yang penuh dengan luka lembab, ia meringis. Itu pasti sangat sakit.

“Jangan bohong sama gue, Nay, bilang sama gue biar bajingan itu gue habisin!” perintah Ian.

“Ian stop! Jevan nggak apa-apain gue. Kita pulang sekarang.” Naya menarik lengan Ian untuk pergi bersamanya. Ia tetap menatap Jevan nyalang.

Jevan menyengka darah disudut bibirnya. Seluruh wajah sampai tubuhnya terasa sakit, tangannya pun merah dan sedikit mengeluarkan darah akibat tinjuan yang ia berikan pada Ian tadi.

Jevan berjalan tertatih menuju motornya, ia menghela napasnya kasar lalu memakai helmnya kembali. Perasaannya terasa lega karena sudah menyalurkan amarahnya pada Ian. Sudah lama ia menunggu masa ini, memberi Ian pelajaran.


“Argh! Pelan-pelan, Nay.” Naya mengusap sudut bibir Ian yang terus mengeluarkan darah dengan kapas yang dibasahi dengan alkohol.

“Ini udah pelan, Yan. Tahan aja.”

“Gue nggak suka, ya, lo gini lagi. Bisa percaya aja, gak, sama gue? Gue nggak macem-macem sama Jevan,” jelas Naya.

“Gue nggak percaya sama Jevan, Nay. Gue tau dia gimana.” Naya menaruh obat medis di meja nakas lalu menatap Ian dalam.

“It’s okay lo nggak percaya sama Jevan, gue nggak maksa. Tapi yang jelas kita nggak seperti yang lo pikirin,” ucap Naya.

Naya bangkit dengan membawa kotak obat tersebut untuk menaruhnya kembali. Langkahnya terhenti saat Ian menahan tangannya.

“Soal yang semalem gue min—” belum sempat Ian meneruskan kalimatnya Naya sudah lebih dulu memotong ucapannya.

“Lupain, gue nggak mau bahas itu. Gue butuh waktu sendiri dulu.”

“Nih, kotak obatnya gue taro tempat biasa. Biar lo gampang nyarinya,” ucapnya lagi.

“Lo yang rawat gue aja, bisa?” Naya terdiam sebentar ketika mendengar ucapan Ian. Apakah ia sedang merayunya saat ini?

“Minta tolong aja sama Van—”

“Gue maunya lo, Nay,” lirih Ian.

“Gue tau gue salah tapi tolong rawat gue, Nay,” ucapnya lagi.

Naya menghembuskan napasnya pelan. Jika dilihat memang kondisi Ian sangat mengenaskan. Wajahnya penuh dengan luka lebam, perutnya masih terasa sakit dan juga kakinya sulit berjalan karena kena tendangan oleh Jevan.

Naya mengangguk pelan, Ian tersenyum senang lalu merengkuh pinggang ramping Naya. Ia menyamankan kepalanya di tengkuk Naya, menghirup parfum vanilla khas Naya.

“Ian, don’t do this.” Naya mencoba melepaskan pelukan Ian namun tidak bisa. Ian semakin mempererat pelukannya.

“Sebentar aja, Nay, I wanna charge my energy,” ucapnya.

Naya terdiam pasrah dan membiarkan Ian memeluknya. Sebenarnya banyak sekali yang ia tanyakan pada Ian namun ia tidak mau mencari keributan. Hatinya masih terasa sakit akan semalam, ia benar-benar kecewa dengan Ian. Biarkan saja seperti ini, setidaknya pelukan Ian membuatnya sedikit lega.

© jenxclury


Cekl

Pintu apartemen terbuka menampakkan gadis berambut cokelat dengan balutan sweater dan celana panjang membawa kantong plastik berwarna putih berisikan cemilan yang ia beli tadi. Gadis itu berjalan menuju ruang tamu sembari bersenandung lalu duduk di sofa L yang tertata rapih disana.

“Waktunya kepotong 15 menit, kemana aja?” gadis itu menoleh kearah sumber suara.

“Kan tadi gue udah bilang mau jajan,” balas gadis itu.

“Jajan selama itu? Manage your time, Bixa.”

Ya, gadis itu adalah Bixa, ia berada di apartemen Kale sekarang. Sesuai janjinya, ah tidak, ini perjanjian yang dibuat Kale untuk belajar bersama. Sejujurnya ia sangat tidak suka belajar apalagi mulai mendekati ulangan karena percuma saja semua yang sudah ia pelajari hilang begitu saja ketika melihat soal ujian. Ujung-ujungnya menghitung kancing adalah jalan ninjanya.

Bixa menghela napasnya sebelum kembali berbicara.

“Ya emang gak ngantri? Banyak orang tadi,” ucap Bixa sembari membuka bungkusan ciki berukuran besar tersebut.

Belum sempat ia memakan cemilannya Kale sudah lebih dulu merampasnya dari tangan Bixa. Tentu saja Bixa marah.

“Kale balikin gak?! Gue mau makan,” Bixa berusaha mengambil ciki itu kembali dari tangan Kale namun tidak bisa. Kale justru mengangkat bungkusan ciki itu setinggi-tingginya membuat Bixa sulit menggapainya karena ukuran tubuhnya yang lebih kecil dari Kale.

“Gak ada makan, belajar dulu,” tegas Kale. Bixa mengerucutkan bibirnya kesal.

Kale menaruh bungkusan ciki tersebut ke dalam kantong plastik putih lalu membuka buku catatannya.

“Mana buku catetan lo? Yang kemarin udah dicatet, kan?” tanya Kale.

Bixa hanya diam, ia mengeluarkan buku catatan matematika minat dari tas dan sedikit membantingnya dengan kesal sehingga menciptakan suara nyaring.

“Bixa, lo udah janji mau belajar matematika minat hari ini. Makannya nanti dulu, ya,” Kale melembutkan suaranya.

“Gue gak janji mau belajar matmin, lo yang maksa,” ketus Bixa.

“Tapi ini buat nilai lo juga, Bixa. Ujian udah tinggal berapa hari lagi, lho,” ucapnya lagi.

“Gue bisa cap cip cup kalo nggak itung kancing,” celetuk Bixa.

Kale menghembuskan napas kasarnya, emosinya mulai terpancing dengan ucapan Bixa namun ia harus bisa menahannya. Jika ia marah sekarang, Bixa tidak akan mau belajar lagi.

“Belajar dulu, ya, makannya nanti,” ucap Kale membuka buku catatan Bixa.

Kale terdiam sebentar saat melihat setiap lembar kosong tanpa coretan sedikit pun.

“Lo belum catet yang kemarin?” tanya Kale pada Bixa.

“Belum.”

“Kenapa?”

“Karena gue gak mau catet, males,” ucapnya santai.

“Catet dulu sekarang,” Kale memberikan pulpen hitam pada Bixa. Ia sudah tahu akal bulus Bixa, ia sengaja tidak membawa pulpen agar tidak bisa belajar. Untungnya Kale mengajak belajar bersama di apartemennya jadi Bixa tidak bisa mengelak lagi sekarang.

“Nanti aja gak, sih? Gue masih belum ada m—”

“Bixa Orellana,” Kale menatap mata Bixa tajam. Suasana menjadi canggung seketika karena aura yang diberikan Kale sangat menyeramkan dan terkesan dingin.

Bixa tidak bisa berkata lagi ia segera mencatat semua catatan matematika minat yang Kale berikan dalam bentuk PDF kemarin.

Menit permenit berlalu Kale terus mengajarkan penyelesaian suatu soal pada Bixa. Ada kalanya ia tidak mengerti sampai Kale harus mengulang penjelasannya dari awal itu benar-benar sangat melelahkan, emosinya juga sudah kembali naik. Ia juga memberi beberapa latihan soal pada Bixa dan mengoreksinya masih ada beberapa yang salah namun Bixa mengerjakan itu dengan baik. Setidaknya ia paham cara penyelesaian yang ia berikan.

Omong-omong soal belajar bersama, ini sudah kesekian kalinya Bixa berada di apartemen Kale untuk belajar bersama. Bixa tidak akan pergi jika Kale memaksanya untuk belajar bersama seperti yang dijelaskan tadi, Bixa tidak suka belajar. Tentu saja Kale sudah mengetahui itu sejak sekolah menengah pertama Bixa tidak pernah belajar selain mengerjakan tugas sekolah, itu juga perlu bantuan Kale sedikit.

Tapi tak apa Kale senang jika harus terus-menerus mengajarkan Bixa seperti ini. Tidak mungkin temannya ia biarkan begitu saja tanpa ilmu selagi ia paham dan tahu bagaimana konsepnya ia akan mengajari Bixa tanpa terkecuali. Dan juga bisa berlama-lama berduaan dengan Bixa salah satunya.

Tidak bisa dipungkiri bahwa Kale memang menyukai Bixa sejak sekolah menengah pertama alasannya karena Bixa terlalu lucu. Apapun yang Bixa lakukan selalu lucu dimata Kale kadang ia ingin sekali mencubit pipi gembul Bixa dengan gemas tapi selalu ia urungkan. Ia tidak bisa melakukan itu karena sifat Bixa yang membuatnya kesal.

Bixa merenggangkan tangannya karena terlalu lelah menulis sedikit lagi contoh soal yang diberikan Kale selesai ia bahkan tidak meminta bantuan Kale sedikit pun untuk mengerjakan itu karena ia sudah paham dengan cara penyelesaian yang diajarkan Kale.

Kale sesekali melihat pekerjaan Bixa sembari membaca buku terlihat tenang dan tidak dibawah kendali ia tersenyum, Bixa sudah lebih paham apa yang ia ajarkan. Sebenarnya Bixa tidak terlalu buruk dalam akademik dan juga berpikir cuma ia tidak pernah mencobanya.

“Nih, udah selesai,” Bixa menyandarkan punggungnya di kaki sofa ia juga merelaksasi tangannya yang terus menerus menulis tanpa henti.

Kale menaruh buku bacaannya dan mengambil buku catatan Bixa. “Yakin bener semua jawabannya?” tanya Kale.

“Coba liat aja, bener semua, kok,” ucap Bixa dengan percaya diri.

Kale mengoreksi jawaban Bixa satu persatu dan semuanya benar ia tersenyum lalu memberi nilai dibuku tersebut.

“Idih dikasih nilai kayak anak TK aja,” celetuk Bixa.

“Itu reward buat lo karena udah bisa ngerjain sendiri tanpa bantuan gue,” balas Kale.

“Masa reward nya gitu doang, gue bukan anak TK, ya,” gerutu Bixa.

“Nanti kalo lo lulus ujian matematika minat baru gue kasih reward yang beneran,” ucapnya lagi.

Bixa terlihat sangat antusias dengan ucapan Kale ia reflek memajukan tubuhnya semakin dekat dengan Kale.

“Serius? Apa reward nya?” Kale sedikit terkejut melihat pergerakan Bixa mereka saling bertatapan dalam waktu yang cukup lama satu senyuman terukir dibibir Kale ia memajukan wajahnya yang membuat Bixa dengan cepat mundur karena jarak mereka sangat dekat.

Jantung Bixa berdegup kencang melihat wajah Kale tepat didepan matanya Kale benar-benar mengikis jarak diantara mereka. Kale menatap Bixa masih dengan senyuman yang menurutnya itu sangat manis dan tampan ia sedikit terkejut saat Kale memiringkan kepalanya dan mata yang tertuju pada bibirnya. Apa ini? Apakah Kale benar-benar akan menciumnya? Sontak Bixa memejamkan matanya karena sudah tidak bisa melihat apa yang didepannya sekarang.

Kale terkekeh kecil ketika melihat Bixa memejamkan mata ia seperti sudah siap untuk dicium tapi itu bukan tujuan utama Kale ia hanya ingin mengelap bekas cokelat yang ada dibibir Bixa karena ia memakannya tadi.

“Ngapain merem?”

Anjing.

Bixa kembali membuka matanya karena semua tak seperti bayangannya Kale benar-benar merusak suasana padahal ia sudah siap untuk menerima ciuman itu. Ah tidak, ia baru sadar bahwa mereka tidak bisa melakukan itu karena masih duduk dibangku SMA. Kale juga tidak segampang itu untuk mencium Bixa.

Bixa mengedipkan matanya seolah kelilipan ia mencoba agar tidak terlalu merasa malu sekarang.

“Ini kelilipan mata gue, lo ngapain deket-deket? Sana bau tau badan lo,” Bixa mendorong Kale agar menjauh darinya. Kale hanya bisa tertawa kecil dan menjauhkan tubuhnya dari Bixa.

“Lap dulu itu bibir lo ada bekas cokelatnya,” Bixa mengambil tisu yang diberikan Kale lalu mengelapnya.

Itu benar-benar sangat memalukan Bixa sudah kegeeran akan mendapat ciuman dari Kale namun itu hancur begitu saja dan Kale penyebabnya.

She's so cute


Aku pikir saat aku melangkahkan kaki pergi dari rumah itu aku akan baik-baik saja. Tapi nyatanya tidak. Aku merasakan lebih sakit dan lebih rapuh saat mereka tidak ada di sampingku, setiap hari selalu saja bertengkar dengan rasa rindu ini. Kenyataan memang begitu pahit, aku pergi dengan membawa rasa malu dan kecewa. Dari sanalah rasa bersalah ku muncul.

Ku kira aku akan kuat menghadapi ini semua sendirian, tapi ternyata ini lebih menyakitkan dari yang kubayangkan. Dunia luar begitu jahat untuk anak manja ini yang selalu tidak mau repot. Salahku, mengapa sejak dulu aku tidak pernah melakukan apapun sendiri. Benar, aku hanya ketergantungan dengan papah ku yang konglomerat. Papah angkat ku.

Ah, rasanya aku ingin menangis jika mengingat kejadian itu. Mencoba menerima kenyataan bahwa papahku yang konglomerat ini ternyata bukan ayah kandungku. Rasanya sakit sekali. Namun, dia tidak pernah menganggap ku sebagai anak angkatnya. Dia pernah bilang “kamu akan tetap menjadi anak perempuan papah, gak ada yang lain.” Itu benar. Hanya aku anak perempuannya. Dia sangat menyayangi ku.

Peduli, perhatian dan kasih sayang yang ia berikan selalu membuatku luluh. Sejak saat itu aku tidak ingin kehilangannya namun pada akhirnya aku yang meninggalkannya. Aku sangat jahat, ya? Aku juga merasa begitu. Hatiku lebih teriris saat mereka benar-benar merasa kosong tanpa kehadiran ku. Seperti tidak hidup. Aku semakin merasa bersalah.

Benar, kehilangan membuat kedua belah pihak tersakiti. Kami saling menyakiti. Cerita yang bahkan belum selesai aku potong begitu saja dengan akhir yang tak bahagia. Aku menderita, mereka pun sama. Namun tak selamanya kehilangan membuat mereka tersakiti. Kehilangan mengajarkan ku untuk tetap kuat dan bertahan tanpa adanya mereka disamping ku namun tidak dengan mereka.

Mereka ingin terus menjaga ku dalam keadaan apapun karena mereka takut kehilangan ku, lagi. Mereka tidak bisa menghadapi kenyataan jika aku benar-benar menghilang ataupun sudah tidak ada di dunia. Akan kuajarkan nanti mereka bagaimana tetap hidup tanpa aku.

Selain itu, aku juga tidak ingin pergi lagi karena kebahagiaan sesungguhnya hanya ada di keluarga ini. Hanya mereka yang selalu membuatku bahagia dan menjadikan hidupku berwarna. Jadi, kalau kalian bertanya, “gimana rasanya bagian dari Keluarga Jung?” aku akan jawab aku senang karena mereka adalah keluarga yang aku inginkan. Tak peduli seberapa lika liku yang aku hadapi, aku hanya butuh mereka untuk menemani perjalanan hidupku.

Salam author, Harla © jenxclury


Nara membuka pintu rooftop sekolahnya lalu berjalan menuju tempat Jisung yang berdiri sembari menatap langit biru yang dihiasi awan putih. Jisung membalikkan badannya saat Nara sudah mendekat, posisi mereka berhadapan sekarang.

“Kenapa gak ngomong disana aja?” tanya Nara.

“Rame, Ra. Gue mau ngomong berdua aja sama lo,” jawab Jisung.

Nara menatap Jisung intens, “gak biasanya lo kayak gini. Ada apa, nih?”

Jisung terkekeh lalu berjalan menuju meja yang ada didekatnya dan mengambil sebuah buket bunga mawar dengan hiasan boneka kecil ditengahnya. Sejak kapan Jisung membeli buket bunga itu? Bahkan sampai Nara datang kesini pun ia tidak melihat buket bunga tersebut.

“Happy graduation, Ra. Lo beneran keren banget, lulusan terbaik, loh,” ucap Jisung sembari memberikan buket bunga itu pada Nara.

“Apa nih? Yah, gue gak ngasih apa-apa ke lo, gue jadi gak enak. Lo, kan, juga lulusan terbaik,” ucap Nara menerima buket bunga tersebut.

“Gak usah kali, gue juga gak mau apa-apa. Ya, ini gue beli aja tadi pas nyokap berhenti di toko bunga, sekalian jadinya,” jelas Jisung.

“Makasih, ya,” ucap Nara tersenyum.

“Btw, lo mau ngomong apa?” tanya Nara.

“Hm.. Sebenernya gue agak takut buat ngomong ini tapi..

I have crush on you, Ra.”

Nara terkejut mendengar perkataan Jisung, matanya sama sekali tidak berkedip menatap Jisung. Mengapa Jisung mengatakan itu? Tiba-tiba saja? Nara hanya diam terkaku menunggu Jisung untuk melanjutkan bicaranya.

“Sorry, lo kaget, ya? Tapi gue jujur, Ra. Gue suka sama lo, gue juga gak ngerti gimana rasa sayang sebagai temen berubah jadi rasa sayang antara pria dan wanita.”

“Tiap gue ada disamping lo, entah kenapa gue selalu ngerasa nyaman. Lo selalu jadi semangat buat gue, Ra. Sampai dimana lo memutuskan untuk pergi dari keluarga Jung dan masalah itu dateng, gue gak berhenti buat cari lo, Ra.”

“Karena satu tahun lo pergi gue beneran ngerasa hampa banget, hidup gue ada yang kurang. Hati gue sakit dan setiap harinya gue selalu ngerasa down, berantakan banget.”

“Disaat lamanya lo pergi itu, gue sedikit putus asa dan berniat buat kubur dalam-dalam perasaan gue buat lo. Karena gue pikir, gak mungkin aja, gue juga belum tau lo bakal balik atau ngga. Tapi ternyata, kita bisa ketemu lagi. Dan sekarang gue makin takut setelah confess ke lo gini.”

“Takut lo gak punya perasaan apapun ke gue,” ucap Jisung. Nara masih terdiam tak percaya, kakinya terasa lemas mendengar pengungkapan Jisung. Ini masih seperti mimpi bagi Nara.

“Gue juga takut buat denger jawaban lo,” Jisung tertawa canggung.

Nara mulai tersadar dari pikirannya, ini jelas bukan mimpi. Jisung benar-benar menyatakan perasaannya pada Nara.

“Hm.. Gue bingung mau jawab apa karena jujur gue masih syok banget lo confess kayak gini. Tapi sebelumnya, gue mau bilang terimakasih banget karena lo udah banyak bantuin gue dalam keadaan apapun. Setelah lo ngomong gini, gue baru sadar ternyata banyak banget pertolongan yang udah lo kasih ke gue.”

“Kalo lo tanya perasaan gue gimana, jujur gue sendiri gak tau. Gue gak tau harus nanggepin gimana perasaan gue ini, gue juga ngerasa nyaman setiap deket sama lo. Gue selalu ngerasa beda aja, gitu.”

“Tapi, mungkin gue merasa nyaman kalo kita kayak gini. Gue udah terlalu nyaman dengan hubungan temen ini, sorry,” jelas Nara.

Jisung tersenyum pahit mendengar jawaban Nara, benar saja, Nara menolak perasaannya. Walaupun dia sudah tahu akhirnya bakalan seperti ini namun tetap sakit, menusuk sampai kedalam lubuk hatinya.

“Ya, gue tau lo bakal jawab kayak gitu.”

“Sorry, i'm so sorry karena udah buat lo nunggu satu tahun dan malah hasilnya sekarang gue ngecewain lo, maaf banget. Ngga, lagian lo kenapa nungguin gue, sih? Gue ngerasa bersalah banget, Ji,” ucap Nara yang sudah meneteskan air matanya entah sejak kapan.

“Ra, are you crying? Sorry, ini salah gue, please jangan nangis,” Jisung mencoba untuk menghapus air mata Nara.

Nara menghapus air matanya dan mencoba untuk tenang kembali.

“Lo kenapa nunggu gue sampe setahun, Ji? Lo ngelewatin banyak kesempatan tau, gak,” ucap Nara.

“Karena gue percaya lo bakal balik, Ra. Gue juga masih berharap banyak waktu itu.”

“It's okay lo gak bisa bales perasaan gue, karena gue tau cinta gak bisa dipaksain, Ra. Jadi gue bakalan coba buat luapin rasa ini buat lo, mungkin akan susah tapi gue coba,” ucap Jisung tersenyum tipis.

“Lo mau nyerah?”

“Gimana?”

“Yakinin gue, Ji. Yakinin perasaan gue ini kalo emang cuma lo cowo yang bisa gue perjuangin. Cinta emang gak bisa dipaksa, Ji, tapi seenggaknya bisa dicoba.”

“Buat gue yakin dan percaya sama lo,” lanjut Nara.

Jisung terdiam dan menerjapkan matanya berkali-kali, ia masih tak percaya dengan jawaban Nara. Jisung memeluk Nara tiba-tiba karena dirinya tidak bisa mengungkapkan kebahagiaannya dengan kata-kata. Dia benar-benar tidak percaya ini. Nara membalas pelukan Jisung dan tersenyum.

“Makasih, Ra, makasih lo mau percaya sama gue. Makasih lo udah ngasih kesempatan buat gue,” ucap Jisung.

“Kita jalanin sama-sama, Ji. Tolong buat gue sayang sama lo lebih dari seorang temen.”

“Gue bakal buktiin itu, Ra.”

Nara memperdalam pelukannya pada Jisung, Nara tidak bisa membayangkan akhirnya akan seperti ini. Jisung dan dia memanglah sebatas teman, teman kecil yang sudah tahu kelebihan dan kekurangan masing-masing. Mereka saling percaya satu sama lain dan tentunya saling sayang.

Kata orang, tidak mungkin persahabatan antara cewe dan cowo salah satu dari mereka tidak ada yang jatuh cinta. Jisung buktinya. Ia gagal untuk menahan rasa sayangnya sebagai teman menjadi rasa sayang antara pria dan wanita. Namun Jisung tidak bisa terus-terusan untuk menyembunyikan perasaannya, setidaknya ia sudah mengungkapkan walau akhirnya tidak sesuai ekspektasinya.

Nara memang belum menerimanya namun ia mendapat kesempatan dan tidak mungkin ia lewatkan begitu saja. Mereka akan menjalani hubungan ini bersama dan Jisung akan membuktikan bahwa ia dapat membuat Nara percaya dan yakin padanya. Tidak hanya itu, ia akan membuat Nara jatuh cinta entah apapun caranya.

© jenxclury


Dua bulan sudah berjalan, banyak yang telah Nara lewati dalam dua bulan terakhir, ia menjenguk Oma nya di rumah sakit dan juga pergi nyekar ke makam Lidya. Nara juga sudah mempersiapkan perlengkapan untuk sekolahnya karena minggu depan ia sudah kembali bersekolah. Senang rasanya dapat merasakan suasan seperti dulu lagi, walau masih terasa asing bagi Nara.

Hubungan keluarga mereka juga semakin baik, Nara dan Alexa sudah tidak ada lagi kecanggungan diantara mereka. Nara senang jika berada disisi Alexa, ia dapat merasakan rasanya disayang oleh seorang Ibu, selalu dibela dari kakaknya dan mendapat teman curhat baru yang selalu mendengarkannya.

Kalau diingat, Nara merasa lucu dengan pertemuan dirinya dengan Alexa. Dimana Alexa menyamar jadi seorang Ibu dari temannya Mark dan Nara percaya itu. Nara ingin melupakan semua kenangan ditahun lalu dan menggantinya dengan kenangan baru bersama keluarga yang baru.

“Ra, lo tau, gak, selama lo pergi Sungchan gak pernah mandi,” celetuk Jeno.

“Gak ada, ya, anjir. Bohong, Ra, jangan dengerin bang Jeno,” bela Sungchan.

“Emang iya, ngaku aja lo. 3 hari dia, Ra, gak mandi. Parah banget,” tambah Jeno.

“Mana ada 3 hari, 5 hari.”

“Tuh, kan, Ra.”

“Ih jorok, sana gak usah deket-deket gue,” Nara bergeser sedikit kearah Jeno.

“Engga, Ra. Itu juga karena kuliah terus ngurusin tugas, jadinya gak sempet mandi,” jelas Sungchan.

Keluarga Jung sedang berkumpul di ruang keluarga dengan menampilkan acara reality show di TV sambil bercengkrama. Jaehyun dan Alexa sesekali tertawa melihat tingkah laku keempat anaknya yang selalu bertengkar dan bercanda ria. Susana rumah menjadi hangat karena canda tawa mereka, suara lembut mereka memenuhi sunyinya ruangan ini.

“Lo juga masih sering ngerokok, kan, di kampus lagi,” Sungchan membalas Jeno.

“Kak Jeno masih ngerokok? Katanya udah engga!” kesal Nara.

Jeno memperlihatkan jejeran giginya yang rapih, “hehe.. Jarang, sih, Ra.”

“Ya, sama aja!”

“Gak usah ngomong sama gue lagi kalo lo masih ngerokok,” ucap Nara sinis.

“Yap, papah juga akan sita semua aset kamu and maybe gak akan papah balikin,” Jaehyun ikut berbicara.

“Yah, pah, kok gitu. Jangan dong!” ucap Jeno tak terima.

“Ya kalo kamu gak berhenti ngerokok dan minum-minum papah akan sita semuanya.”

“Mampus,” ucap Sungchan pelan yang membuat Jeno melayangkan tinjuan dilengannya.

Jeno berdecak kesal, mungkin akan sulit baginya untuk terlepas dari nikotin dan alkohol namun ia akan mencoba demi semua aset miliknya. Karena sesungguhnya Jeno tidak bisa hidup tanpa itu semua, ia akan bosan seharian dan meracau seperti anak kecil.

Nara yang sedari tadi ikut mengejek Jeno bersama Sungchan terlintas satu pikiran diotaknya, suatu ide yang bagus untuk menertibkan keluarga ini. Nara tersenyum lalu mulai pembicaraan.

“Okay, when we talked about something earlier, it occurred to me to make a decision that we should have a new rules in our family.”

“Supaya Kak Jeno gak ngerokok lagi, Kak Mark inget selalu sama rumah dan istirahat, Papah gak terlalu minum banyak kopi and Sungchan gak telat makan,” ucap Nara.

“Papah juga?”

“Of course, itung-itung buat punishment kalian juga dan yang ngelanggar denda 200 ribu kasih ke aku or ke mama,” ucap Nara tersenyum bangga.

“Dih, apa-apaan, nih?! Gak ada, ya,” protes Jeno.

“Enak di lo, dong!”

“I think we shouldn't do that, we're not that bad, surely,” ucap Mark.

“No, it's your punishment, anggap aja gitu. Kalo kalian berhasil dan gak ngelanggar itu, yaudah, gak usah denda. Simple,” kata Nara.

Jeno dan Sungchan menatap Nara dengan sinis, ada rasa kesal sedikit yang timbul di hati mereka karena ini merugikan mereka. Hanya untung di Nara saja.

“Terus lo gak ikut peraturan ini gitu?” tanya Jeno.

“Oh iya, dong, karena cewe selalu benar dan cowo selalu salah. Ya, kan, Mom?”

“Hm.. Nara ada benarnya juga,” ucap Alexa.

“Ah, lo sengaja, kan, supaya mama berpihak sama lo?” ucap Sungchan.

“Benar, that's the point!” Nara tersenyum menampilkan jejeran giginya yang rapih.

Jeno dan Sungchan mendengus kesal, mereka menatap satu sama lain dan berniat untuk membalas Nara. Senyuman terhias dari bibir mereka, mereka akan menggunakan cara ini untuk membuat Nara diam.

“Oh gitu, ya, jadi sengaja, nih?”

Dengan cepat Nara kabur dan menghindar dari Jeno dan Sungchan karena mereka akan menggelitik nya, Jeno dan Sungchan tahu betul apa kelemahan Nara dan mereka akan melakukan itu sampai Nara terdiam dan kapok.

“Mama tolongin Nara!”

“Mau lari kemana lo!”

“Gue bakal kelitikin lo sampe nangis.”

“Papah tolongin!”

Jaehyun dan Alexa tertawa melihat ketiga anaknya ini saling kejar-kejaran dengan ricuh, begitupun dengan Mark. Tingkah mereka memang terkadang seperti anak kecil namun itu yang membuat suasana rumah menjadi ramai.

Keberadaan seorang anak memang untuk melengkapi struktur keluarga, mereka membuat suasana keluarga menjadi lebih baik sekaligus menjadi putri dan pangeran di istana dari kedua insan. Keluarga Jung melewati banyak rintangan yang membuat mereka lebih kuat, walaupun masih terlihat rapuh namun mereka dapat menyelesaikannya bersama.

Kehilangan mengajarkan mereka bagaimana bertahan tanpa orang yang mereka cinta atau yang mereka sayang karena itu suatu hal yang paling menyakitkan. Kehilangan juga membuat mereka akan menjadi kuat dan saling menjaga satu sama lain.

Kelurga Jung selalu menghadirkan keceriaan dan mempunyai cerita lika liku tersendiri, mereka berjanji untuk memulai semuanya dari awal dengan formasi keluarga yang baru, tentu saja dengan penuh kebahagiaan dimasa depan. Mereka juga berjanji untuk tetap bersama dalam keadaan apapun, tidak ada lagi yang pergi, tidak ada lagi yang hilang karena mereka adalah satu keluarga.


Halo, terimakasih sudah mengikuti perjalanan Keluarga Jung. Kalian menjadi saksi lika liku dan kebahagiaan mereka.

Terimakasih sudah menemani Nara berbagi cerita, berbagi kesedihan maupun kebahagiaan.

Sampai ketemu di kisah Keluarga Jung selanjutnya.

Goodbye👋

Salam author, Harla. © jenxclury